Home » , » Lingkup Ruang ( Delimitasi ) Ruang Angkasa

Lingkup Ruang ( Delimitasi ) Ruang Angkasa


Teori delimitasi ini lahir untuk memperkuat argumentasi klaim batas  kedaulatan sebuah negara atas ruang udara sesuai dengan prinsip-prinsip hukum  udara internasional. Namun  teori ini juga dapat diterapkan untuk mengetahui  batas ketinggian jelajah pesawat udara komersial. Sehingga apabila terjadi  kecelakaan pesawat udara dapat dipakai sebagai dasar argumentasi yuridisnya.

Permasalahan mengenai sampai sejauh mana suatu negara berdaulat atas  ruang udara diatas wilayahnya mulai muncul sejak Perang Dunia I, namun pasca  Perang Dunia II persoalan justru mengarah ke arah yang lebih jauh , yakni ruang  angkasa (outer space). Dalam hukum ruang angkasa berlaku prinsip kebebasan yang tercantum  dalam  outer space treaty 1967 .  Traktat Ruang Angkasa 1967 ini disahkan  sepuluh tahun setelah Uni Soviet mengorbitkan Sputnik I.

Prinsip kebebasan dalam  outer space treaty 1967  itu terangkum dalam  kalimat : “ Ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lain, bebas untuk dieksplorasi dan pemanfaatan oleh setiap negara dan ruang angkasa  termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya itu tidak dapat dimiliki oleh  negara-negara manapun juga, dengan alasan pemakaian atau pendudukan atau  dengan cara apapun”. Hal ini berarti bahwa ruang angkasa termasuk bulan dan  benda-benda langit lainnya bebas untuk dimanfaatkan. Akan tetapi, kepemilikan  atas ruang angkasa dan benda-benda langit lainnya tidak dibenarkan.


Hukum udara internasional mengenal beberapa teori delimitasi ruang  udara dan ruang angkasa. Antara lain  Schater Air Space Theory diperkenalkan  oleh Oscar Scahater. Jenks  Free Space Theory (teori ruang angkasa bebas)  diperkenalkan oleh C Wilfred Jenks,  Haley’s International Unanimity Theory (teori persetujuan internasional) diperkenalkan oleh Andrew G. Haley dan  Cooper’s Control Theory (teori pengawasan) diperkenalkan oleh John Cobb  Cooper.

Banyaknya para ahli memberikan argumentasi keilmuan tentang delimitasi  ruang udara dan ruang angksa. Mereka memberikan warna tersendiri dan  pemahaman yang mendalam serta teliti. Pendapat mereka dijadikan sebagai  doktrina (pendapat para ahli hukum) sebagaimana tertera dalam pasal 38 Statuta  Mahkamah Pengadilan Internasional yang dijadikan sebagai sumber hukum formil bagi para hakim dalam memutus sebuah perkara hukum. Namun ada juga beberapa teori yang dilahirkan dari organisasi  internasional, perjanjian internasional, cara bekerja sebuah pesawat angkasa, cara  bekerja transmisi gelombang radio,  teori orbit satelit. Antara lain ::

1. Teori ICAO (International Civil Aviation Organization). 

Teori ini berdasarkan  pada bunyi konvensi Chicago tahun 1944 dengan segenap  annex-nya yang  menggunakan batas berlakunya ketentuan hukum udara internasional. Dimulai  batas maksimum yang  dapat dipakai oleh pesawat udara (aircraft) dengan  mendefinisikan pesawat udara sebagai”. Setiap alat yang mendapat gaya angkat aerodinamis di atmosfir karena reaksi udara (any machine can derive support in  the atmosphere from the reaction of the air). Konvensi ini tidak menyebutkan  secara jelas dan pasti batas ketinggian kedaulatan suatu negara atas ruang  udaranya. Dapat dikatakan bahwa ruang angkasa dimulai pada saat tidak ada  reaksi udara menurut teknologi penerbangan berkisar 25 mil sampai 30 mil dari permukaan bumi atau sekitar 60.000 kaki.

2. Teori Transmisi Radio. 

Teori ini didasarkan pada sifat gelombang yang memancar  melalui perantaraan konduktor atmosfir udara dapat ditentukan bahwa batas ruang  angkasa dimulai dari batas maksimum udara dimana gelombang radio tidak dapat  menembus batas tersebut melainkan kembali memantul ke bumi ketinggian  berdasarkan teori berkisar 150 mil sampai 300 mil dari permukaan bumi.

3. Teori Outer Space Treaty 1967. 

Teori ini memberi batas antara ruang udara dan  ruang angkasa berdasarkan teori titik terendah orbit suatu satelit atau suatu space  objects. Pembatasan teori  outer space treaty bersifat tidak pasti. Hal ini  bergantung pada karakteristik suatu satelit buatan dan kepadatan atmosfir di suatu  orbit pada waktu tertentu. Menurut teori ini, ruang angkasa dimulai pada ketinggian 80 Km diatas permukaan bumi yang merupakan batas ketinggian  minimum (lower limit) dari suatu orbit satelit.

4. Teori GSO (Geo Stationary Orbit). 

Teori ini dipakai oleh negara-negara “kolong”  dimana negaranya dilalui garis khatulistiwa termasuk Indonesia untuk  memperjuangkan klaim hak-hak berdaulat, mengeksplorasi dan mengeksploitasi  kekayaan alam di ruang angkasa yang berbentuk cincin ketinggian berkisar  36.000 km dari permukaan bumi. Teori ini lahir dari kegigihan perjuangan  negara-negara  equator (khatulistiwa) untuk memperoleh  preferential rights atas  GSO (Ida Bagus Rahmadi Supancana, E Saefullah Wiradipradja, Mieke Komar  Kantaatmadja, 1988). Ide ini diusulkan pada sidang ke-22 sub komite hukum  UNCOPOUS (United Nations Committee of Peacefull of Outer Space)  untuk  memperkuat argumentasi yuridis atas kekayaan alam ruang angkasa bagi negaranegara khatulistiwa.

5. Teori Pesawat Lockheed U-2 Milik Amerika Serikat dengan kemampuan terbang  berkisar 78. 000 kaki. 

Pesawat LU-2 jenis pengintai ini ditembak jatuh oleh  USSR. Sehingga menimbulkan perang argumentasi antara Uni Soviet dan  Amerika Serikat. Pihak Uni Soviet memprotes Amerika karena pesawat udaranya  telah memasuki wilayah udara Uni Soviet. Sebaliknya, Amerika berdalih bahwa  pesawatnya terbang pada ketinnggian yang dikategorikan sebagai wilayah ruang  angkasa yang bebas dari klaim kedaulatan dari negara manapun. Pihak USSR  berpegang pada Air Code Soviet yang berbunyi  “The Complete and exclusive  sovereignity over the airspace of USSR shall be long to the USSR.Air space of  USSR shall be deemed to be the air space above the land and water territory of the USSR including the space above territorial waters as determined by laws of
USSR and by international treaties”    

6. Teori Space Shuttle atau teori Orbiter. 

Dilahirkan dari pemikiran penulis  untuk,memperkuat argumentasi yuridis masalah status hukum pesawat ulang-alik  yang banyak menimbulkan silang pendapat di kalangan ilmuan hukum udara.  Beberapa ilmuan hukum udara masih belum bisa menarik kesimpulan tentang  penundukan hukum atas pesawat ulang alik. Di satu sisi tunduk pada hukum  ruang angkasa dan di sisi lain tunduk pada hukum udara internasional. Karena
sifat-sifat kendaraan tersebut selalu berubah-ubah, kadang sifatnya sebagai  pesawat angkasa dan juga sebagai pesawat udara biasa (K Martono, 1987). Untuk  memperkuat argumen yuridis terhadap teori yang penulis lahirkan berkenaan  dengan batas delimitasi ruang udara dan ruang angkasa dapat dilihat dari proses
kerja pesawat ulang alik pada saat menjalankan misinya. Meluncur ke ruang  angkasa melalui tiga tahapan yakni tahap  ascend/launching (peluncuran), tahap  orbital (penempatan ke orbit), dan tahap descend (pulang turun kembali ke bumi  memasuki atmosfir).

Tuurunya pesawat dengan gaya aerodinamis menggunakan  reaksi udara mirip pesawat udara komersial biasa. Dari proses kerja pesawat ini  dapat diambil teori penentuan delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Teori  tersebut adalah batas ruang udara berlaku pada saat tangki luar bahan bakar pecah dan terbakar disusul dua roket pendorong lepas pada ketinggian 50 mil dari  permukaan bumi. Teori baru dari hasil pemikiran penulis ini mudah-mudahan  dapat menambah khasanah bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang  hukum udara dan ruang angkasa.

sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25537/3/Chapter%20II.pdf


0 komentar:

Posting Komentar

Flag Country

free counters