Nampak seperti surga, kembaran Bumi ini lebih mirip neraka



Venus kerap dianggap sebagai planet kembaran Bumi karena ukurannya yang sama. Tetapi sejatinya planet tetangga bumi ini lebih cocok disebut 'nerakanya' Bumi. Mengapa?

Apabila dilihat lewat teleskop dari Bumi, Venus terlihat seperti versi cerah dari Bumi. Bahkan, tidak sedikit yang awalnya menyebut planet kedua dari matahari itu sebagai sebuah surga yang kelak menjadi tempat tinggal manusia berikutnya. Sayangnya hal tersebut salah total, karena berdasarkan penelitian Uni Soviet (sekarang Rusia) Venus adalah planet paling berbahaya di tata surya.

Salah satu pesawat luar angkasa Uni Soviet tersukses, Venera 13, yang berhasil mendarat dengan selamat di permukaan Venus pada tahun 1981 nyatanya hanya mampu bertahan sekitar 127 jam sebelum akhirnya hancur, atau lebih tepatnya meleleh. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang aneh, sebab suhu rata-rata dari permukaan Venus ternyata mencapai 462 derajat Celsius, empat kali lipat dari suhu air mendidih di Bumi!

Panas permukaan Venus pun tercatat lebih menyengat dari pada permukaan planet Merkurius yang sejatinya adalah planet terdekat dengan matahari.

Tingginya suhu Venus disebabkan oleh lapisan tebal atmosfernya yang dipenuhi oleh gas-gas rumah kaca sehingga panas yang masuk ke Venus justru terperangkap di dalamnya, mirip sebuah oven raksasa. Tidak hanya itu, atmosfer dari planet ini juga sangat beracun karena dipenuhi oleh asam sulfat, zat yang biasa dipakai untuk cairan aki motor yang jika disentuh bisa membuat kulit melepuh dan merusak logam. Kombinasi suhu tinggi dan udara asam membuat manusia meleleh dalam hitungan menit.

Menurut Zoe Baily, salah satu ilmuwan National Space Centre, tekanan yang dihasilkan oleh atmosfer Venus bisa meremukkan tubuh manusia dengan kekuatan 90 kali lipat dari tekanan udara di Bumi. Berjalan di Venus akan terasa seperti berjalan di kedalaman 900 meter di bawah air!

Fakta ini sejatinya cukup ironis, sebab sebelumnya para ilmuwan menduga bila Venus menjadi tempat tinggal para alien. Sebelum misi Venera, ahli astronomi memang tidak bisa melihat menembus atmosfer Venus akibat cahaya dari matahari dipantulkan kembali ke angkasa. Namun, setelah Venera mendarat di dalamnya, terlihat bila Venus lebih mirip neraka ketimbang surga.

Saksikan Venus dan Jupiter Berciuman Besok Subuh



Venus dan Jupiter akan mencapai jarak terdekat pada Senin (18/8/2014) waktu Subuh. Mereka tampak bagai dua obyek yang menjadi satu.

"Elongasinya hanya 0,2 derajat, sangat dekat," ungkap astronom amatir Ma'rufin Sudibyo. Jarak ini adalah yang terdekat dalam 14 tahun.

Dengan elongasi tersebut, jarak Venus dan Jupiter dalam pandangan manusia tak lebih dari lebar kelingking. 

"Saya menyebutnya super konjungsi," kata Ma'rufin saat dihubungi Kompas.com, Minggu (17/8/2014).

Disebut super konjungsi karena yang terlibat adalah dua benda langit non Bulan yang tampak sangat terang.

Konjungsi sendiri adalah fenomena di mana dua benda langit tampak berdekatan satu sama lain dalam pandangan manusia.

Astrofisikawan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, mengatakan, Venus dan Jupiter akan tampak "seperti bintang kembar yang cemerlang."

Berdasarkan perangkat lunak Stelarium, Venus akan bermagnitud -3,3 sementara Jupiter -1,35. Magnitudo menerangkan kecerlangan benda langit. Semakin kecil, semakin terang.

Venus tampak lebih terang dari Jupiter karena berjarak lebih dekat dengan Bumi dan Matahari. Jika keduanya berjarak sama dari Bumi, Jupiter akan lebih terang sebab ukurannya yang sepuluh kali lipat dari Venus.

Walau tampak sangat dekat dalam pandangan manusia, Venus dan Jupiter sebenarnya tetap berjarak jauh, jutaan kilometer.

Konjungsi Venus dan Jupiter biasa terjadi sekali setahun. Namun, super konjungsi terjadi dalam rentang waktu yang acak.

Fenomena konjungsi Venus dan Jupiter bisa dilihat besok pagi dengan mata telanjang. Keduanya akan tampak pada ketinggian rendah, hanya 10 derajat. 

Pengamatannya sebenarnya terbilang mudah. "Asal tidak ada halangan di ufuk timur," kata Ma'rufin. Pengamatan lebih baik dilakukan di tempat tinggi, misalnya lantai paling atas sebuah apartemen.

Pelangi Terlihat di Planet Venus







LONDON -- Para astronom berhasil melihat penampakan langka yakni sebuah fenomena menyerupai pelangi di planet Venus melalui pesawat milik badan ruang angkasa Eropa Venus Express.
Fenomena yang disebut glory ini untuk pertama kalinya terlihat di planet lain dan dapat membantu para ilmuwan memahami bahan kimia di Venus.

Di Bumi, pelangi atau bianglala adalah gejala optik dan meteorologi yang terjadi karena pembiasan cahaya matahari oleh butir-butir air. Pelangi berupa cahaya beraneka warna saling sejajar yang tampak di langit atau medium lainnya.
Namun atmosfir Venus sendiri diduga terdiri dari asam sulfur dan komponen lain yang tidak diketahui. Karenanya, dengan pencitraan awan dan Matahari tepat dalam posisi di belakang pesawat ruang angkasa Venus Express, para ilmuwan berharap berhasil mengungkap jenis bahan kimia yang menyusun pelangi Venus.

Menurut laman Dailymail, para astronom ESA berhasil mengabadikan pelangi di Venus sekitar 70 km di atas permukaan planet pada 24 Juli 2011. Dari pengamatan, partikel-partikel awan di planet itu perkirakan setebal 1,2 mikrometer, kira-kira lima puluh kali lebih kecil dari rambut manusia.

Pilot Mengantuk, Cahaya Planet Venus Dikira Pesawat



SRIPOKU.COM, OTTAWA — Seorang pilot yang masih mengantuk setelah sempat tertidur mengira cahaya terang planet Venus di langit sebagai lampu pesawat yang berada di jalur tabrakan. Secara refleks, ia mendorong tuas kendali dan menurunkan ketinggian pesawat secara mendadak sehingga menyebabkan 14 penumpang dan dua awak pesawat terluka.

Demikian terungkap dalam laporan hasil penyelidikan Badan Keselamatan Transportasi Kanada yang diumumkan Senin (16/4/2012) waktu Kanada. Insiden itu terjadi pada Januari 2011 dan melibatkan pesawat Boeing 767 milik Air Canada yang sedang dalam penerbangan malam dari Toronto, Kanada, menuju Zurich, Swiss.

"Peristiwa ini menggarisbawahi tantangan mengelola kelelahan di dek penerbangan," tutur Jon Lee, ketua tim penyelidik Badan Keselamatan Transportasi Kanada.

Insiden terjadi saat kopilot pesawat Air Canada itu baru terbangun dari giliran tidur panjang di kokpit. Dalam keadaan belum sadar betul, kapten pilot memberitahukan bahwa pesawat kargo Amerika Serikat terbang ke arah mereka.

Mendengar informasi ini dan melihat cahaya Venus yang terang benderang di depannya, si kopilot menduga cahaya itu adalah lampu pesawat kargo AS tersebut.

Secara refleks, ia langsung mendorong tuas kendali dan pesawat pun menukik tajam secara mendadak, turun setinggi 400 kaki (120 meter), sebelum kapten pilot menarik kembali tuas kendali untuk mengembalikan pesawat ke posisi semula.

Setelah diselidiki, ternyata pesawat kargo AS itu berada pada ketinggian yang berbeda, yakni 1.000 kaki (305 meter) di bawah jalur penerbangan Air Canada.

Akibat penurunan ketinggian secara mendadak ini, 14 penumpang dan dua awak kabin yang sedang tak mengenakan sabuk pengaman menderita luka-luka. Tujuh orang bahkan sempat dirawat di rumah sakit begitu tiba di Zurich.

Penyelidik menemukan, kopilot tersebut kelelahan dan kurang tidur. Saat di rumah, jam tidurnya sering diganggu oleh anak-anaknya. Sebelum insiden itu terjadi, ia tertidur hingga 75 menit atau melanggar batas maksimum 40 menit. Artinya, dia tidur terlalu pulas dan saat bangun mengalami disorientasi. 

Fenomena Mirip Pelangi Muncul di Planet Venus



SRIPOKU.COM - Para astronom menangkap fenomena yang menyerupai pelangi di planet Venus melalui wahana Badan Antariksa Eropa.
Fenomena yang disebut glory ini untuk pertama kalinya terlihat di planet lain dan dapat membantu para ilmuwan memahami bahan kimia di Venus.
Di Bumi, pelangi dan glory terjadi saat Matahari bersinar di partikel air namun atmosfer di Venus diduga terdiri dari asam sulfur dan komponen lain yang tidak diketahui.
Pelangi biasanya terlihat melengkung di langit sementara glory jauh lebih kecil dan terdiri dari serangkaian warna berbentuk menyerupai cincin dan berpusat pada warna yang terang.
Glory hanya terlihat bila kamera diletakkan langsung antara Matahari dan partikel awan.
Dari Bumi, glory sering terlihat dari pesawat di seputar awan atau di sekitar bayangan para pendaki gunung di puncak pegunungan yang berkabut.
Gambar glory ini diambil oleh pesawat milik Badan Antariksa Eropa, Venus Express, yang berada di antara planet Venus dan Matahari.

Habis "Ditelan" Bulan, Venus Tampil Malam Ini Bersama Saturnus



KOMPAS.com — Malam ini, Venus akan kembali muncul di ufuk barat. Planet kedua terdekat dari Matahari itu akan tampil bersama dua benda langit lain, Bulan dan Saturnus.

Munculnya Venus malam ini menarik sebab tanpa bisa dilihat oleh pengamat di Indonesia, Venus sebenarnya baru saja "ditelan" oleh Bulan pada Senin (9/9/2013) sekitar pukul 04.30 WIB dini hari selama satu jam.

Ditelannya Venus oleh Bulan disebut dengan peristiwa okultasi. Okultasi sebenarnya sama dengan gerhana, tetapi dipakai untuk benda langit secara umum, tak cuma Matahari, Bulan, dan Bumi.

Dalam peristiwa okultasi yang menelan Venus, Bumi, Bulan, dan Venus terletak di satu garis lurus. Bulan yang saat ini sedang dalam fase bulan sabit berada di antara Bumi dan Venus sehingga menutup planet yang kaya karbon dioksida itu.

Okultasi kali ini hanya bisa dilihat di sebagian kecil wilayah Bumi, Argentina dan Cile. Wilayah lain tak bisa melihatnya.

Di Indonesia, okultasi Venus pernah terjadi pada tahun 2010. Saat itu, okultasi Venus oleh Bulan teramati dari wilayah Bangka Belitung. Fenomena yang sama baru akan bisa dilihat lagi dari Indonesia pada tahun 2052.


Meski tak bisa melihat okultasinya, malam ini dan Minggu malam kemarin, pengamat Indonesia bisa melihat peristiwa konjungsi atau kedekatan antara Venus dan Bulan.

Mulai senja nanti, Venus akan terbit bersama Bulan. Keduanya tampak sangat dekat dan terang. Venus tampil dengan magnitudo -3,58 berdasarkan simulasi aplikasi astronomi Stellarium. Artinya, planet itu bisa dilihat dengan mata telanjang.

Bulan sabit dan Venus juga akan ditemani oleh planet bercincin di Tata Surya, Saturnus. Planet itu akan tampil dengan magnitudo 0,89, bisa dilihat walaupun akan tampak redup.

Bulan, Venus, dan Saturnus bisa diamati bila langit cerah. Waktu pengamatan ketiga benda langit itu takkan lama. Sekitar pukul 21.00 WIB, ketiganya sudah akan tenggelam. Waktu paling tepat untuk mengamati adalah setelah Matahari benar-benar tenggelam.

Meski Bulan dan Venus malam ini tampak dekat, jarak keduanya pada kenyataannya tetap jauh. Bulan berada pada 380.812 km dari Bumi, sementara Venus 159,9 juta km dari Bumi.

Bulan, Venus, dan Saturnus adalah benda langit yang terus menarik perhatian. Bulan baru-baru ini menjadi target penelitian wahana antariksa LADEE milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA). NASA akan menguak misteri atmosfer Bulan.

Venus juga terus membuat ilmuwan tercengang. Salah satu fakta menarik tentang Venus adalah adanya gunung berapi aktif serupa Krakatau dan Merapi di planet itu.

Saturnus menarik perhatian sejak lama karena cincin esnya. Baru-baru ini, terungkap bahwa atmosfer Saturnus memiliki air. Bulan Saturnus, Rhea, juga diduga bisa mendukung kehidupan. Misteri Saturnus terus diselidiki oleh wahana antariksa Cassini.

Venus Berbentuk Sabit Diabadikan dari Yogyakarta




KOMPAS.com - Bulan sabit adalah pemandangan biasa. Tetapi, bagaimana dengan Venus sabit di siang hari? 

Pemandangan yang sangat sulit dilihat itu diabadikan oleh astronom amatir dari Jogja Astro Club, Mutoha Arkanuddin.

Mutoha mengabadikannya pada Kamis (9/1/2014) pada pukul 15.30 WIB dengan bantuan teleskop Meade LX50 dan kamera saku Kodak EC 1530. 

Dalam foto-foto Mutoha yang diunggah ke akun Facebook miliknya, Venus tampak begitu tipis, lebih tipis dari bulan sabit. Di foto lain, Venus yang tipis itu berdampingan dengan awan.

Lebih menarik, pemotretan dilakukan saat Venus dan Matahari berjarak sangat dekat, hanya 5,8 derajat. Sementara kondisi langit juga tengah berawan.

Bagaimana Venus yang begitu tipis bisa diabadikan dan menjadi citra yang cantik?

Mutoha dalam percakapan dengan Kompas.com, Kamis malam, mengungkapkan, "Teknik yang saya gunakan terbilang 'nekat'."

"Ini karena memotret obyek yang berada di dekat Matahari memakai teleskop cukup berisiko, apalagi pointing-nya manual, sangat tidak disarankan," imbuhnya.

Mutoha menjelaskan, Venus memang mungkin diamati pada siang atau sore hari karena magnitudo-nya cukup baik, cukup cerlang.

Perlengkapannya sederhana. Yang dibutuhkan, kata Mutoha, adalah teleskop (terutama go to), perangkat lunak astronomi seperti Stellarium, dan kamera.

Namun demikian, teknik pengamatan Venus pada siang hari berbeda dan membutuhkan kehati-hatian agar tak justru merusak mata.

"Pengamatan malam bendanya terlihat oleh mata baru dibidik dengan teleskop, tapi pengamatan siang, Venus tidak terlihat sebelum dibidik pake teleskop," urainya.

"Nah sulitnya di sini, karena harus bisa melakukan pointing ke posisi planet secara tepat," tambahnya.

Dengan teleskop go to, langkah pemotretan lebih mudah karena teleskop bisa otomatis terarah pada benda langit yang ingin diamati atau diabadikan.

"Tapi dengan pointing manual, langkah ini cukup berbahaya karena saat pointing, teleskop secara manual kita gerakan untuk mencari target, apalagi target sangat dekat Matahari," kata Mutoha.

Dengan segala kesulitan itu, toh Mutoha berhasil untuk mengabadikan wajah Venus yang begitu tipis.

Mengapa berbentuk sabit?

Dalam bayangan manusia, planet selalu berbentuk bulat atau tampak sebagai lingkaran dari sudut pandang manusia di Bumi. Namun, bagaimana Venus yang diabadikan Mutoha bisa berbentuk sabit?

Dosen astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), Ferry M Simatupang, mengatakan bahwa seperti halnya Bulan, Venus memang bisa mengalami berbagai macam fase, mulai sabit hingga menyerupai purnama.

"Waktu untuk Venus menyelesaikan satu siklus 1,7 bulan. Itu jarak dari Venus fase sabit hingga Venus sabit berikutnya," katanya.

Venus bercahaya karena memantulkan cahaya Matahari. Bentuk Venus relatif dilihat dari manusia di Bumi dipengaruhi oleh cahaya yang dipantulkannya. Bila seluruh bagian Venus yang menghadap Bumi memantulkan cahaya, maka fenomena serupa purnama akan terjadi.

Mutoha mengungkapkan, Venus bahkan akan tampak sebagai sabit yang lebih kecil pada Sabtu (11/1/2014) besok.

Venus akan mencapai titik terdekat dengan Matahari dengan elongasi sekitar 5 derajat.

Bumi akan Menjadi Seperti Venus


                                                   Pelajaran bagi Bumi: 

                                                              Pemacuan
                                                 Efek Rumah Kaca di Venus

                    (Dimuat di PR 3 Mei 1996, direvisi sesuai kondisi 2009)



T. Djamaluddin

Peneliti  Matahari dan Antariksa, LAPAN Bandung


Pada senja hari kita sering melihat sebuah "bintang" terang di langit Barat. Orang menyebutnya itu Bintang Kejora. Bila muncul di timur pada dini hari orang menyebutnya Bintang Timur. Sebenarnya itu bukan bintang, tetapi sebuah planet. Karena sangat terangnya, planet ini sangat mudah dikenali. Sesaat setelah Matahari terbenam, sebelum bintang-bintang lain terlihat, planet itu tampak terang. Semakin malam semakin cemerlang. Bila dilihat dengan teleskop, yang tampak adalah benda terang berbentuk sabit, seperti bulan sabit. Sama seperti bulan sabit, cahaya Venus sabit pun berasal dari cahaya Matahari.

Karena ukuran dan sifatnya yang hampir sama dengan Bumi, planet ini sering disebut saudara kembar Bumi. Namun, saudara Bumi ini jauh lebih panas daripada Bumi. Bukan hanya karena jaraknya ke Matahari lebih dekat daripada Bumi, tetapi juga karena efek rumah kaca (green house effect). Bumi bisa belajar banyak tentang akibat efek rumah kaca padasaudara kembarnya, Venus.





Efek Rumah Kaca

Global warming (pemanasan global) belakangan ini menjadi topik pembicaraan hangat. Dunia makin menghangat suhunya. Penyebabnya adalah efek rumah kaca. Namun banyak yang salah menafsirkanya. Seolah-olah efek rumah kaca adalah efek pemanasan akibat banyaknya gedung-gedung berkaca di kota-kota besar yang memantulkan cahaya Matahari ke lingkungan sekitarnya. Tetapi pengertian sebenarnya bukan itu, walaupun tampaknya secara logika efek pemanasan terjadi juga pada lingkungan terbatas di sekitarnya. Efek rumah kaca bersifat global, seluruh tempat di permukaan bumi merasakannya.

Efek rumah kaca adalah efek pemanasan akibat terperangkapnya panas yang tidak dapat dilepaskan ke luar
angkasa. Penamaan itu untuk memberikan gambaran prosesnya seperti yang terjadi pada rumah kaca yang biasa digunakan untuk melindungi tanaman (bunga-bungaan atau sayur-sayuran) di daerah pegunungan atau negara bermusim dingin agar tetap hangat. Cahaya Matahari masuk menembus kaca dan menghangatkan tanah dan udara di dalamnya. Namun panas itu tidak bisa ke luar karena terperangkap oleh kaca itu. Makin lama suhu di dalam rumah kaca itu akan makin panas.

Venus kini mengalami efek seperti itu. Bumi juga merasakannya. Bukan kaca yang menyebabkan panas di Venus atau di Bumi itu terperangkap tetapi awan, uap air, dan gas-gas penyerap panas yang disebut "gas rumah kaca" (GRK) seperti CO2 (karbon dioksida), CH4 (metan), CFC (klorofluorkarbon), dan NOx (oksida Nitrogen).





Planet terpanas

Venus letaknya lebih dekat ke Matahari daripada Bumi. Jaraknya ke Matahari sekitar 105 juta km. Sedangkan jarak Bumi dari Matahari sekitar 150 juta km. Karena itu Venus lebih panas daripada Bumi. Tetapi yang menjadikan Venus sangat panas bukan karena jaraknya relatif dekat dengan Matahari. Planet Merkurius yang paling dekat dengan Matahari panasnya hanya sekitar 430 derajat C. Sedangkan Venus panasnya mencapai 460 derajat C.

Carl Sagan dalam desertasi doktornya tahun 1960-an menjelaskan bahwa ada proses efek rumah kaca yang sangat hebat di Venus yang menyebabkan planet ini makin lama makin panas. Hasil pengamatan pesawat antariksa yang dikirim meneliti Venus, Venera dan Pioneer, menunjukkan bahwa atmosfer Venus hampir seluruhnya terdiri dari CO2 (96,5 %). Bandingkan dengan CO2 di atmosfer Bumi yang hanya sekitar 0,05 %. Awan tebal yang selalu menyelimuti Venus berada pada ketinggian 30-60 km dan terdiri dari awan asam
sulfat (H2SO4, sejenis dengan air keras pada aki).

Kandungan CO2 yang sangat tinggi menyebabkan hebatnya efek rumah kaca. Cahaya Matahari yang menerobos sela-sela awan tebal kemudian memanaskan permukaan Venus. Panasnya yang dipantulkan lagi
tidak bisa ke luar ke angkasa tetapi segera diserap oleh CO2 yang menyebabkan
suhu atmosfernya makin panas.

Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa Venus pada awalnya mungkin mempunyai air seperti halnya bumi. Efek rumah kaca akibat kandungan uap air dan CO2 menyebabkan suhu atmosfer Venus makin panas. Akibatnya, uap air makin banyak di udara. Tambahan uap air menyebabkan penyerapan panas lebih banyak lagi sehingga suhunya atmosfer makin panas. Karena pemanasan yang makin hebat batuan kapur (CaCO3) pun mengalami perubahan menjadi CaO dan melepaskan CO2. Semakin banyak CO2 dan uap air di udara pemanasan oleh efek rumah kaca semakin hebat. Dan seterusnya pemanasan menyebabkan semakin banyak uap air dan CO2. Terjadilah pemacuan efek rumah kaca (runaway greenhouse effect) yang menyebabkan pemanasan makin cepat.

Uap air bereaksi dengan gas SO2 yang mungkin dilepaskan oleh gunung berapi di Venus. Akibatnya terjadilah awan asam sulfat. Sementara itu uap air (H2O) dengan pengaruh sinar ultra violet Matahari akan pecah menjadi atom Hidrogen (H) dan Oksigen (O). Atom Hidrogen akan lepas ke luar angkasa, kecuali yang bermassa besar yang disebut Deutorium. Sedangkan oksigen bereaksi dengan batuan di permukaan Venus. Karena uap air tidak berproses lagi menjadi awan dan hujan, air di Venus makin hilang.



Pelajaran bagi Bumi

Bumi menerima panas dari Matahari. Tetapi hanya sekitar 45 % yang mencapai permukaan Bumi. Sebanyak 40 % dipantulkan lagi ke angkasa luar oleh awan dan debu-debu di atmosfer atas, terutama debu-debu dari letusan gunung berapi. Dan 15 % lainnya diserap oleh atmosfer. Sinar ultra violet diserap oleh lapisan ozon. Sinar infra merahterutama diserap oleh uap air dan CO2.

Bumi yang terpanasi kemudian akan memancarkan lagi panas (dalam bentuk sinar infra merah) ke atas. Panas itu sebagian diserap oleh uap air, gas-gas GRK (terutama CO2), dan awan. Sebagian sisanya dilepaskan ke luar angkasa. Awan yang menghangat juga kemudian akan memancarkan lagi panasnya ke bawah. Inilah proses efek rumah kaca yang menyebabkan pada malam hari pun atmosfer Bumi terasa masih cukup hangat. Tanpa efek rumah kaca, panas Matahari tidak tersimpan yang bisa mengakibatkan perubahan
suhu yang drastis antara siang dan malam.

Masalahnya bila efek rumah kaca terjadi peningkatan. Bila panas yang diserap oleh uap air dan GRK meningkat, suhu atmosfer akan meningkat. Ini akan mengakibatkan melelehnya gunung es dikutub yang akan menaikkan ketinggian air laut. Kalau itu terjadi, banyak pulau dan daerah pantai yang tenggelam.

Di samping itu, peningkatan efek rumah kaca bisa mengubah iklim secara global. Bukan hanya suhu atmosfer yang meningkat, pola curah hujan pun akan berubah. Karena itu pemantauan dan penelitian tentang efek rumah kaca serta dampaknya pada perubahan iklim kini makin digiatkan. Di Indonesia, LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) Bandung sangat peduli dengan penelitian GRK dan pengaruhnya pada
perubahan iklim. Pemantauan GRK dan penelitian model iklim yang dipengaruhinya, khususnya di Indonesia, merupakan salah satu bagian penelitiannya.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan suhu di permukaan Bumi selama ribuan tahun sangat dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan metan dalam kurun waktu itu. Sementara itu penelitian lain menunjukkan bahwa peningkatan 15% CO2 selama seabad ini telah meningkatkan suhu rata-rata atmosfer di permukaan Bumi sekitar 0,25 – 0,50 derajat C.

Perkembangan industri dan pemakaian kendaraan bermotor memacu peningkatan jumlah CO2 di atmosfer. Penelitian di Mauna Loa, Hawaii, dalam waktu lebih dari 30 tahun menunjukkan bahwa nkonsentrasi CO2 terus mengingkat dengan laju peningkatan 0,4 persen per tahun. Jika keadaan ini terus berlangsung, pada awal abad 21 mendatang konsentrasi CO2 di atmosfer akan menjadi dua kali lipat dari konsentrasinya sebelum zaman industri.

Di Indonesia peningkatan GRK juga terjadi sebagai hasil dampak perkembangan indistri dan pemakaian kendaraan bermotor. Salah satu hasil pemantauan yang dilakukan LAPAN Bandung sejak 1989 menunjukkan kecenderungan peningkatan konsentrasi CO2 di kota Bandung. baik pada musim kemarau (Juni) maupun musim hujan (Desember). Walaupun pengaruhnya pada peningkatan suhu kota Bandung belum terlihat untuk jangka pendek ini, namun dalam jangka panjang perubahan suhu itu akan terasa. Bandung yang terkenal sejuk, makin lama akan makin panas bila efek rumah kaca terus meningkat (Catatan: tulisan ini dibuat 1996, saat ini data satelit yang dianalisis peneliti LAPAN menunjukkan ada efek "urban heat island", yaitu efek pemanasan kota di Bandung).

 Dari berbagai skenario perubahan iklim yang mungkin terjadi akibat pelepasan GRK oleh aktivitas manusia, disimpulkan bahwa suhu global pada abad mendatang akan naik sekitar 0,1 – 0,3 derajat per dekade. Suhu di negara-negara industri di Eropa dan Amerika Utara mungkin akan meningkat lebih tinggi dari rata-rata itu yang diikuti dengan penurunan curah hujan dan tanah relatif lebih kering.

Untuk Indonesia, termasuk juga daerah tropik dan negara-negara di belahan Bumi selatan, belum banyak diketahui skenario perubahannya. Peneliti-peneliti di LAPAN Bandung, dengan menggunakan model iklim yang ada dan yang akan dikembangkan, berusaha mengetahui skenario perubahan iklim di Indonesia akibat peningkatan efek rumah kaca dan faktor-faktor lainnya. Pengaruh variabilitas Matahari pada perubahan iklim
merupakan faktor lain yang turut diperhitungkan.

Peningkatan suhu global pada abad 21 mendatang, diperkirakan akan meningkatkan tinggi pemukaan air laut sekitar 6 cm per dekade, terutama akibat pengembangan air laut dan pencairan lapisan es di kutub. Menjelang tahun 2030 tinggi air laut rata-rata dunia meningkat sekitar 20 cm dibandingkan saat ini. Di beberapa wilayah mungkin lebih dari itu dan di wilayah lain mungkin kurang dari itu. Namun itu cukup mengkhawatirkan. Dalam jangka panjang beberapa pulau akan hilang dan laut menggenangi daerah pinggiran
pantai.

 Hal yang dikhawatirkan adalah terjadinya pemacuan efek rumah kaca di Bumi. Kenaikan suhu atmosfer bukan hanya menaikkan ketinggian air laut, tetapi juga menyebabkan makin cepatnya penguapan dan kekeringan. Uap air di atmosfer merupakan penyerap panas yang baik seperti GRK lainnya. Bila itu ditambah dengan pelepasan CO2 yang tak terkendali dari kendaraan bermotor, industri, dan kebakaran hutan, efek rumah kaca akan dipacumakin cepat. Akibatnya, suhu akan makin cepat meningkat.

Belajar pada Venus, saudara kembar Bumi, pemacuan efek rumah kaca berdampak sangat hebat. Dengan pemacuan efek rumah kaca, bukan tidak mungkin Bumi kita bisa menjadi seperti Venus.



Sumber :: http://tdjamaluddin2.wordpress.com/2009/05/25/bumi-akan-menjadi-seperti-venus/

Susunan Tata Surya



Tata surya (Solar System) terdiri dari matahari, planet, serta benda-benda langit  lainnya seperti satelit, komet, meteor, dan  asteroid. Tata surya dipercaya terbentuk  sejak 4.600 juta tahun yang lalu, yang merupakan hasil penggumpalan gas debu di  angkasa yang membentuk matahari dan kemudian planet-planet yang mengelilingi  matahari. Matahari mengandung sekitar 99,87% bahan pembentuk seluruh tata surya.  Ada dua paham yang berhubungan dengan tata surya, yaitu paham geosentris dan  paham heliosentris. Paham geosentris  dikembangkan oleh Claudius Ptolemaeus  (Ptolemy) sekitar tahun 150 T.M. Menurut paham geosentris, bumi merupakan pusat  dari jagad raya. Bulan berputar mengelilingi bumi dengan orbit yang paling dekat,  sementara bintang-bintang terletak pada bulatan angkasa yang besar dan berputar  pada orbit yang paling jauh.


Paham geosentris bertahan hingga abad ke-16. Baru pada sekitar tahun 1543  terjadi revolusi ilmiah besar-besaran yang dilakukan oleh Copernicus. Copernicus  menggantikan paham geosentris dengan paham baru yang disebut paham  heliosentris. Menurut paham heliosentris,  yang menjadi pusat jagat raya bukanlah  bumi, melainkan matahari. Matahari berada pada pusat alam semesta, sedangkan  bumi beserta planet-planet yang lainnya  bergerak mengelilingi matahari pada  orbitnya masing-masing. Paham heliosentris mendapat dukungan dari Kepler.   Pada tahun 1609 Kepler mendukung gagasan tersebut dengan mengemukakan  tiga hukumnya yang selain menyebutkan bahwa  matahari sebagai pusat dari tata  surya, juga memperbaiki orbit planet menjadi elips. Pada tahun yang sama Galileo  menemukan teleskop. Melalui pengamatan dengan teleskop Ia menarik kesimpulan bahwa yang menjadi pusat tata surya bukan bumi, melainkan matahari. Penemuan  teleskop oleh Galileo tidak hanya menguatkan paham heliosentris dari Cpernicus,  tetapi membuka lembaran baru dalam perkembangan ilmu astronomi. 


Flag Country

free counters