Astronomi secara etemologi berarti “ilmu bintang”. Secara terminologi adalah ilmu yang melibatkan pengamatan dan penjelasan yang terjadi di luar bumi dan atmosfer. Dalam ensiklopedi singkat astronomi dan ilmu-ilmu yang bertautan, memberi pengertian tentang astronomi dengan“pengetahuan tentang langit dan alam semesta”. Ilmu ini mempelajari asalusul, evolusi, sifat dan kimiawi benda-benda yang bisa dilihat di langit (di luar bumi), juga proses yang melibatkan mereka. Jadi mudahnya, astronomi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang memberi gambaran tentang benda-benda di luar angkasa dimana di dalamnya terdapat matahari, bintang, bulan, benda-benda langit lainnya dilihat dari segi sifat, fisik, letak, pergerakan dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
Benda luar angkasa yang disebut dalam al-Qur’an meliputi matahari, bulan, bintang (QS. Al-Hajj [22] : 18). Dalam kajian astronomi matahari merupakan benda langit yang memancarkan sinar tersendiri, sedangkan bulan memantulkan cahaya karena menerima sinar matahari, sementara bintang adalah benda langit yang memiliki cahaya sendiri.
Bagaimana dengan perspektif al-Qur’an ? Apakah menurut al-Qur’an juga demikian ?
Matahari dalam al-Qur’an disebut dengan kata syams (ﺷﻤﺲ), sedangkan bulan dalam al-Qur’an dibahasakan dengan kata syahr {ﺷﻬﺮ ), (ﻗﻤﺮ), dan (ﻫﻼﻝ). Masing-masing kata ini di dalam al-Qur’an digunakan untuk maksud yang berbeda-beda. Kata syahr (ﺷﻬﺮ ) berorientasi pada makna bulan yang menunjukan arti waktu atau perhitungan waktu, misalnya dalam QS. Al-Baqarah (2) : 185, 194, 197, 217, 226 dan 234. QS. An-Nisa’ (4) : 92. QS. Al-Maidah (5) : 97, QS. At-Taubah (9) : 2, 36, QS. Al-Ahqaf (46):15, QS. AlMujadalah (58): 4, QS. Ath- Thalaq (65):4. Semua ayat tersebut menggunakan kata syahr untuk perhitungan waktu
Kata syahr (ﺷﻬﺮ ) dalam al-Qur’an diulang sebanyak 13 kali dan menunjukan makna yang sama yaitu bulan dalam arti perhitungan waktu dan bukan menunjukan makna bulan dalam arti hakiki (benda). Untuk menperjelas tulisan ini akan dikutip salah satu ayat yang disebutkan di atas yakni QS. At-Taubah (9):36 yang artinya :
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. Kata syahr (ﺷﻬﺮ ) dalam ayat ini mendeskripsikan jumlah bilangan bulan yakni dua belas bulan dalam sekali putaran bulan qamariyah, atau dua belas bulan dalam satu tahun. Jadi, penekanan kata syahr adalah bulan untuk perhitungan waktu dan bukan bulan dalam arti yang hakiki".
Berbeda halnya dengan kata syahr (ﺷﻬﺮ ), dan qamr (ﻗﻤﺮ), dan hilal (ﻫﻼﻝ) bermakna bulan dalam arti hakiki. Keduanya menyatakan makna bulan dalam arti hakiki, namun memiliki perbedaan maksud. Kata qamr (ﻗﻤﺮ)
bermakna bulan yang sempurna. Ini dapat dipahami dari QS. Al-Insyirah (84):18, (dan dengan bulan apabila purnama / ﺗﺴﻖ yang ( َﻭ ﺍﻟﻘﻤﺮ ﺍﺫﺍ ﺍ menghubungkan kata qamr dengan sempurna. Begitu juga ketika al-Qur’an selalun mengungkapkan kata qamr (ﻗﻤﺮ) dalam bentuk mufrad melambangkan bahwa bulan yang sempurna (ﻗﻤﺮ) hanya sekali setiap bulan (ﺷﻬﺮ ), yaitu pada bulan purnama. Demikian kata qamr (ﻗﻤﺮ) hanya berarti bulan purnama.
Kata hilal (ﻫﻼﻝ) diungkapkan dalam al-Qur’an hanya satu kali dalam bentuk jamak ahillah (ﺃﻫﻠﺔ). Ini kita temui pada QS. Al-Baqarah (2):189. dalam ayat ini kata hilal (ﻫﻼﻝ) dihubungkan dengan waktu haji. Perlu diingat kembali bahwa ketika al-Qur’an mengungkapkan kata qamr (ﻗﻤﺮ) selalu dalam bentuk mufrad, tetapi ketika mengungkapkan hilal (ﻫﻼﻝ) dalam bentuk jamak. Dari sini dapat dipahami bahwa hilal itu berulangulang, tidak hanya sekali. Dalam arti, perjalanan bulan dari sangat tipis menuju sempurna dan dari sempurna menuju tipis kembali dapat disebut hilal (ﻫﻼﻝ). Dengan demikian, peredaran bulan (ﻗﻤﺮ) dan (ﻫﻼﻝ) selama satu bulan (ﺷﻬﺮ ) terdiri dari, sekali bulan qamr (ﻗﻤﺮ) dan yang lainnya adalah bulan hilal (ﻫﻼﻝ). Ini berarti bahwa hilal (ﻫﻼﻝ) bermakna bulan yang tidak sempurna, nampak sedikit, sebagian, separuh, atau hampir sempurna, ketika sempurna maka tidak disebut hilal, tetapi disebut qamr (ﻗﻤﺮ). Hilal (ﻫﻼﻝ) dapat juga dikatakan penampakan dari qamr (ﻗﻤﺮ) yang mendapat pantulan sinar matahari.
Menurut Plato, dunia terbagi dua yaitu dunia pengalaman dan dunia yang tetap. Dunia yang tetap disebut dunia Idea. Yang ada di dunia idea adalah idea yang sifatnya tetap, sempurna dan tidak berubah-ubah. Idea
meupakan sesuatu yang sungguh ada (realitas) dan memimpin budi ke dunia pengalaman, sedangkan pengalaman hanya merupakan bayang-bayang dari dunia idea, karena itu sesuatu yang realitas dan ideal adalah sesuatu yang berada dalam dunia idea.
Mengacu pada pendapat Plato, bintang dengan istilah kaukab berarti bintang yang ideal. Bintang seperti ini tidak terwujud karena hanya ada di dunia idea. Adapun bayang-bayang dari bintang (kaukab) adalah bintang (nujum). Dengan demikian, penggunaan kedua istilah ini berbeda. Kata nujum menunjukan bintang dalam pengertian bintang yang berada dalam dunia pengalaman, sedangkan kata kaukab merupakan bintang yang berada dalam dunia idea.
QS. al-Hajj (22):18 menggunakan kata nujum (ﻧﺠﻮﻡ), untuk menggambarkan bintang sebagai benda langit yang tunduk pada perintah Allah. Dalam QS. an-Najm (53):1 kata nujum (ﻧﺠﻮﻡ), digunakan untuk menggambarkan bintang sebagai benda langit untuk obyek sumpah (qasam). Dalam QS. ath-Thariq (86):3 kata nujum (ﻧﺠﻮﻡ), digunakan untuk menggambarkan bintang sebagai benda langit yang bercahaya. Berdasarkan pada beberapa ayat di atas kata nujum (ﻧﺠﻮﻡ), memiliki makna bintang dalam arti yang hakiki. Pertanyaan ini diperkuat oleh QS.at-Takwir (81):2 yang menggambarkan ciri hari kiamat dengan berjatuhannya bintang (ﻧﺠﻮﻡ). Di sini digunakan kata nujum (ﻧﺠﻮﻡ), bukan kaukab. Oleh karena itu tampaknya penggunaan kata nujum (ﻧﺠﻮﻡ), dalam al-Qur’an untuk menggambarkan bintang dalam pengertian yang hakiki. Sehingga ilmu yang berbicara
mengenai perbintangan disebut ilmu nujum.
Selain kata nujum (ﻧﺠﻮﻡ), untuk menggambarkan bintang dalam alQur’an digunakan kata buruj ( ﺑﺮﻭﺝ), 3 sebagaimana ditemuai dalam QS. alHijr (15) : 16, al-Furqan (25):61, al-Buruj (85):1. dalam tafsir ath-Thabari diceritakan bahwa menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan buruj adalah ‘qusur fi sama’i’ yakni gugusan bintang-bintang.
sumber :: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/71109109124.pdf
0 komentar:
Posting Komentar