Home » , » Benda-Benda Langit (Matahari) dalam Perspektif Al-Qur’an

Benda-Benda Langit (Matahari) dalam Perspektif Al-Qur’an



Benda-benda di langit dalam perspektif al-Qur’an terdiri dari  matahari, bulan dan bintang. Al-Qur’an mengulang tiga kali istilah tersebut  dengan berbagai redaksi dan istilah yang berbeda sebanyak 84 kali.

 Matahari

Al-Qur’an mengulang kata matahari (ﺷﻤﺲ) sebanyak 32 kali, dan  menggunakan kata matahari siraj/ﺳﺮﺍﺝ sebanyak 4 kali yakni dalam QS  al-Furqan (25):61, al-Ahzab (33):46, Nuh (71):16, an-Naba’ (78):13. Matahari  (ﺷﻤﺲ) disebut secara bersamaan dengan kata  qamar (ﻗﻤﺮ) dan  nujum (ﻧﺠﻮﻡ)  sebanyak 1 kali dalam QS. al-Hijr (22):18 yang artinya :


"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada  di langit, di bumi, matahari, bulan, gunung, pohon-pohonan, binatangbinatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia…"


ayat ini menggambarkan ketaatan ciptaan Allah kepada  penciptanya. Jadi kata matahari (ﺷﻤﺲ), kata  qamar (ﻗﻤﺮ) dan kata  nujum (ﻧﺠﻮﻡ) disebutkan secara bersamaan untuk menunjukan ketaatan ciptaannya.  Dalam konteks ini Allah menggambarkan benda-benda ciptaan-Nya sebagai  makhluk yang tak pernah durhaka kepada-Nya, dan semuanya tunduk kepada  perintah-Nya kecuali manusia. Ayat ini memberikan indikasi bahwa matahari  (ﺷﻤﺲ)  qamar (ﻗﻤﺮ) dan  nujum (ﻧﺠﻮﻡ) akan selalu tunduk berjalan sesuai  dengan perintah Allah. Sebagaimana dikatakan di atas bahwa makhluk  ciptaan Allah senantiasa  mentaati Allah, maksudnya ketundukan matahari,  bulan dan bintang adalah dalam bentuk selalu mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan Allah untuknya. Matahari (ﺷﻤﺲ) disebut secara bersamaan dengan kata qamar (ﻗﻤﺮ)  dan kaukab (ﻛﻮﻛﺐ) dalam al-Qur’an sebanyak 1 kali, yakni dalam QS. Yusuf (12):4. dalam ayat itu matahari (ﺷﻤﺲ),  qamar (ﻗﻤﺮ) dan  kaukab (ﻛﻮﻛﺐ) yang artinya :

"Ingatlah ketika Yusuf berkata kepada ayahnya :”Wahai ayahku,  sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas binatang, matahari dan bulan.  Ku lihat semuanya bersujud kepadaku”."


Ayat ini menggambarkan kehadiran matahari, bulan dan bintang  dalam mimpi Yusuf serta kedudukannya kepada Yusuf. Karena itu, ayat ini  lebih berorientasi pada persoalan Yusuf, bukan persoalan astronomi.
Penggunaan kata bintang, bulan dan matahari dalam ayat ini  hanya sebagai  obyek mimpi Yusuf saja, bukan bintang, bulan dan matahari yang hakiki. Matahari (ﺷﻤﺲ) disebut secara bersamaan dengan kata qamar (ﻗﻤﺮ)  sebanyak 17 kali. Penyebutan Matahari (ﺷﻤﺲ) disebut secara bersamaan  dengan kata qamar (ﻗﻤﺮ) ditemui dalam QS. al-An’am (6):96. QS. al-A’raf (7):54, QS. Yunus (10):5, QS. ar-Ra’d (13):2, QS. Ibrahim (14):33, QS. anNahl (16):12, QS. al-Anbiya (21):33, QS. al-Ankabut (29):61, QS. Luqman (31):29, QS. Fathir (35):13, QS. Yasin (36):39-40, QS. az-Zumar (39):5, QS.  Fushilat (41):37, QS.  ar-Rahman (55):5, QS.  Nuh (71):16, dan QS. alQiyamah (75):9. Dari kumpulan ayat-ayat tersebut kandungan isinya dapat  dikategorikan sebagai berikut ;



  1. Sebanyak 11 kali menunjukan peredaran matahari dan bulan, yaitu pada  QS. al- An’am (6):54, 5 QS. al-A’raf (7):54, QS.Yunus (10):5, 6 QS. arRa’d (13):2, QS. Ibrahim (14):33, , QS. al-Anbiya (21):33, QS. Luqman (31):29, QS. Fathir (35):13, QS.Yasin (36):39-40, QS. az-Zumar (39):5,  QS. ar-Rahman (55):5, 7
  2. Dua kali menggambarkan manfaat matahari dan bulan bagi manusia,  yaitu QS. an-Nahl (16):12, dan QS. Nuh (71):16
  3. Satu kali mengenai keingkaran orang kafir terhadap penciptaan langit,  bumi, ketundukan matahari, dan bulan yakni QS. al-Ankabut (29):61
  4. Satu kali tentang larangan sujud kepada matahari dan bulan yakni pada  QS. Fushilat (41):37
  5. Satu kali mengenai ciri-ciri kehancuran alam yakni QS.  al-Qiyamah (75):9.
Kata  ﺗﻘﺪﻳﺮ dalam ayat di atas menguatkan kata husbana (ﺣﺴﺒﺎﻧﺎ) . Kata husbana (ﺣﺴﺒﺎﻧﺎ) secara bahasa terambil dari kata  hisaba (ﺣﺴﺎﺑﺎ ) yang berarti kesempurnaan,  sehingga ayat tersebut berarti perhitungan yang sempurna dan teliti. Kemudian hasil  perhitungan itu ditetapkan sebagai taqdir (ﺗﻘﺪﻳﺮ ) yang berarti ketetapan.

Ath-Thabari mengatakan bahwa kata  qaddarah pada ayat di atas hanya untuk  bulan saja, bukan untuk matahari. Beliau beragumentasi bahwa perhitungan bulan (syahr /  ﺷﻬﺮ) dan tahun (sinin /ﺳﻨﻴﻦ ) hanya dapat diketahui dengan  qamar (ﻗﻤﺮ ). Dengan  demikian dapat dipahami bahwa bulan memiliki manzila-manzila dalam perjalanannya.  Karena bulan memiliki manzila-manzila (hilal) dan ada bulan qamar (ﻗﻤﺮ ). Oleh karena 
itu, maka akan melahirkan sistem perhitungan/penanggalan bulan qamariyah, selanjutnya  baca Ath-Thabari tt, juz.15, h. 23. 

Dari ayat-ayat tersebut ditemui kata kunci (key word) berkaitan dengan peredaran matahari dan bulan. Key word tersebut adalah kata taqdir (ﺗﻘﺪﻳﺮ ). Kata taqdir ditemui dalam al-Qur’an hanya 3 kali daln semuanya dalam konteks pembicaraan tentang peredaran matahari dan bulan, yakni dalam QS. al-An’am (6): 96, QS. Yasin (36): 38, dan  QS.  Fushilat (41): 12. Kata  ﺗﻘﺪﻳﺮ dalam ayat-ayat tersebut digunakan untuk makna  pengaturan dan ketentuan yang sangat teliti dalam konteks penciptaan alam semesta.  Oleh karena itu, kata  ﺗﻘﺪﻳﺮ   dalam al-Qur’an hanya digunakan untuk menunjukan  konsestensi hukum-hukum Allah yang berlaku di alam raya. Dengan demikian, peredaran matahari dan bulan sudah ditentukan kadar ketentuannya, sehingga akan selalu beredar  secara konsistensi berdasarkan garis edarnya. 



Matahari sebagai benda luar angkasa digambarkan dalam beberapa  ayat, antara lain ; QS.al-Furqan (25):61, QS. Nuh (71):16, dan QS. an-Naba' (78):13, artinya  sebagai berikut:


"Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan  Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya." (QS. alFurqan (25):61).


"Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan  matahari sebagai pelita. "(QS. Nuh (71):16).

"Dan Kami menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya." (QS.  an Naba’; (78):13 )


"Dialah yang menjadikan matahari bersianar dan bulan bercahaya." (QS. Yunus (10):5 )


QS.  al-Furqan (25):61, QS.  Nuh (71):16 dan QS.  an-Naba’ (78):13, matahari digambarkan sebagai siraj (ﺳﺮﺍﺝ). Kata siraj (ﺳﺮﺍﺝ) dalam  kamus al-Munawwir diartikan pelita atau lampu. Dengan demikian berarti matahari memancarkan cahaya. Sedangkan pada QS. Yunus (10):5 matahari  digambarkan sebagai benda langit yang bersinar. Mengacu kepada ayat-ayat  ini dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri matahari adalah benda langit yang  memiliki sinar.











0 komentar:

Posting Komentar

Flag Country

free counters