Pelajari Atmosfer Mars, NASA Luncurkan Maven

Pelajari Atmosfer Mars, NASA Luncurkan Maven
Peluncuran Maven, misi NASA untuk menyelidiki atmosfer Mars, Senin (18/11/2013).


Lembaga antariksa Amerika (NASA), Senin (18/11/2013), meluncurkan pesawat antariksa tak berawak Maven ke Mars. Maven punya misi mempelajari atmosfer planet merah tersebut untuk mencari tahu mengapa tetangga bumi itu kehilangan kehangatan dan air dari waktu ke waktu.

Maven adalah kependekan dari Mars Atmosphere and Volatile Evolution. Dia diterbangkan menumpang roket putih Atlas V401 pada pukul 13.28 waktu setempat atau Selasa (19/11/2013) pukul 01.28 WIB.

"Semua terlihat baik," kata misi kontrol NASA tentang peluncuran pesawat itu. Pesawat dengan biaya perakitan 671 juta dollar AS atau sekitar Rp 7 triliun itu direncanakan menjelajahi permukaan Mars selama 10 bulan.

Roket ini tak akan mendekati wilayah kering Mars tetapi lebih fokus pada misteri atmosfer Mars yang masih minim dipelajari, berbeda dengan misi pesawat antariksa NASA sebelumnya.

Selama menjalankan misi, Maven bakal mengelilingi planet merah, pada jarak sekitar 6.000 kilometer di atas permukaan Mars. Meski demikian, dia akan menjelajahi lima variasi ketinggian dengan rentang sekitar 125 kilometer untuk mendapatkan kumpulan data atmosfer Mars dalam beragam tingkat.

Para peneliti menyebut misi Maven sebagai upaya pencarian bagian yang hilang dari teka-teki tentang atmosfer Mars. Diduga ada peristiwa pada miliaran tahun lalu yang mengubah Mars dari planet dengan air yang memungkinkannya didiami menjadi planet kering berupa gurun tandus sekarang.

"Maven adalah pesawat ruang angkasa pertama yang ditujukan untuk mengeksplorasi dan memahami atmosfer Mars," kata NASA. "Pesawat akan mempelajari bagaimana atmosfer Mars hilang, menentukan sejarah hilangnya air dari Mars."

Peralatan

Alat pertama dari tiga peralatan yang dibawa Maven adalah pengukur angin matahari dan ionosfer yang disebut sebagai paket partikel dan bidang, buatan laboratorium sains antariksa University of California.

Sedangkan alat kedua adalah paket pengindraan jauh buatan laboratorium fisika atmosfer dan antariksa University of Colorado. Alat ini akan dipakai untuk menentukan karakteristik global atmosfer bagian atas dan ionosfer.

Sementara peralatan ketiga adalah spetrometer massa ion dan gas netral yang dibuat Goddard Space Flight Center NASA. Komposisi isotop netral dan ion akan diukur menggunakan alat ini.

"Dengan Maven, kami menjelajahi satu bagian terbesar Mars yang belum dijelajahi sejauh ini," kata peneliti utama NASA, Bruce Jakosky.

Pengiriman Maven ke Mars bukanlah misi pertama NASA ke planet merah. Misi NASA ke Mars mencakup pengiriman pesawat antariksa Curiosity, yang tiba pada tahun lalu. Sementara India juga mengorbitkan pesawat antariksa Deep Space.

Misi India adalah mendapatkan data metana untuk membuktikan ada atau tidaknya kehidupan di Mars pada masa lampau. Sementara itu, misi Amerika adalah mencari jejak perubahan iklim di Mars.

Bila misi Maven berhasil, data yang dihimpunnya akan membantu membuka jalan di masa depan bagi kunjungan manusia ke Mars. NASA memperkirakan, pengiriman manusia ke Mars dapat dilakukan sebelum 2030.
 

Misi Robot NASA Berikutnya Membuat Oksigen di Mars

Misi Robot NASA Berikutnya Membuat Oksigen di Mars
Misi Mars 2020 akan membawa tujuh proyek dan salah satunya peralatan produksi O2.


Pesawat ruang angkasa NASA yang direncanakan mendarat di Mars pada tahun 2021 akan berupaya untuk membuat oksigen di permukaan planet merah itu.

Pesawat Mars 2020 itu akan membawa tujuh proyek yang diarahkan untuk merintis jalan bagi misi berawak ke Mars dengan mencari bukti-bukti kehidupan dan menyimpan sampel yang kelak dibawa kembali ke sana.

Salah satu proyek adalah peralatan yang bisa mengubah CO2, yang banyak di udara Mars yang tipis, menjadi O2, seperti dilaporkan wartawan Sains BBC, Jonathan Webb.

Hal tersebut akan bisa mendukung kehidupan manusia atau membuat bahan bakar untuk roket yang akan membawa pulang awak ruang angkasa.

"Hari ini merupakan hari yang amat gembira bagi kami," kata astronot dan administrator NASA, John Grunsfeld, saat mengumumkan muatan yang dibawa Mars 2020 di Washington DC.

Dengan berat satu ton dan biaya 1,9 miliar dollar AS, pesawat itu akan mengikuti model Curiosity, yang mendarat di Mars pada Agustus 2012.

Fokus eksplorasi

Kemampuan memproduksi oksigen akan membantu ambisi untuk misi berawak ulang alik ke Mars karena membawa bahan bakar amat berat serta membutuhkan biaya yang mahal pula.

Pesawat ruang angkasa NASA lainnya sudah bisa memproduksi O2 dari CO2 namun peralatan baru, MOXIE, untuk pertama kalinya akan menguji kemampuannya di atmosfer Mars.

Salah seorang penguji MOXIE, Profesor Tom Pike dari Imperial College, London, mengatakan perubahan fokus dalam misi ke Mars seperti mengganti persneling.

"Ini lebih seperti Star Trek tua yang lebih berani, dengan fokus utama dari muatannya adalah ekslporasi dan bukan ilmu pengetahuan," jelasnya kepada BBC.

"Tidak banyak tempat yang bisa dituju manusia setelah Bulan. Saya akan mengatakan satu dalam daftar praktisnya, dan itu adalah Mars."
 

Metana Ditemukan di Mars, Apakah Itu Tanda Adanya Kehidupan?

Metana Ditemukan di Mars, Apakah Itu Tanda Adanya Kehidupan?
Panorama sore hari di Mars yang dikonstruksi Jason Major berdasarkan foto yang diambil kamera Mastcam pada wahana antariksa Curiosity.


Adakah kehidupan di Mars pada saat ini atau masa lampau? Mungkin saja.

Wahana antariksa Curiosity milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menemukan ledakan metana di planet merah yang bertahan selama dua bulan. Menariknya, metana itu mungkin menjadi petunjuk adanya kehidupan di Mars.

"Itu salah satu dari sekian hipotesis yang diajukan dan harus dipertimbangkan seiring kita terus meneliti," kata John P Grotzinger, ilmuwan yang memimpin proyek Curiosity, seperti dikutip New York Times, Kamis (18/12/2014).

Temuan metana tersebut signifikan sebab gas itu tidak bisa bertahan dalam waktu lama.

Perhitungan mengindikasikan bahwa cahaya dan reaksi kimia di atmosfer Mars bakal mengurai metana menjadi senyawa yang lebih sederhana dalam ratusan juta tahun. Jadi, metana yang ditemukan saat ini pasti berasal dari masa kini.

Metana merupakan senyawa organik sederhana yang terdiri atas atom karbon dan empat atom hidrogen.

Di Bumi, metana adalah hasil metabolisme mikroba, selain juga menjadi salah satu komponen gas buang pada manusia. Metana pun bisa dihasilkan lewat proses geologi yang disebut serpentinisasi, reaksi yang membutuhkan panas dan air dalam bentuk cair.

Belum jelas dari mana metana di Mars berasal. Namun, temuannya menarik dan perlu dieksplorasi lebih lanjut.

Menurut ilmuwan, bahkan bila metana itu hanya merupakan hasil dari proses geologi, temuannya sangat menarik sebab spot hidrotermal yang menhasilkan metana merupakan tempat yang baik untuk mencari tanda-tanda kehidupan.

Christopher R. Webster dari Jet Propulsion Laboratory, NASA, menyatakan bahwa temuan metana ini sangat mengejutkan.

Pasalnya, pertengahan tahun 2013 lalu, NASA telah menyatakan bahwa tanda-tanda adanya metana di Mars tak ditemukan. Namun, hanya dalam waktu 2 bulan setelah pernyataan itu, metana dideteksi dalam level 10 kali lebih tinggi dari yang diduga.

Sejak saat itu, metana dideteksi tetap bertahan hingga bulan Januari 2014. Kemudian, pelan-pelan metana terdegradasi.

Sepuluh tahun lalu, penelitian dengan wahana Mars Express milik Badan Antariksa Eropa (ESA) juga menemukan tanda-tanda adanya metana di atmosfer Mars. Namun, tanda itu hilang dalam dua tahun.

Saat itu, ilmuwan percaya bahwa solusi dari misteri tersebut adalah kesalahan dalam pengukuran. Tapi sekarang, misteri itu muncul lagi.

Michael J. Mumma dari Goddard Space Flight Center NASA di Greenbelt menyatakan, data baru ini menarik setelah sekian keraguan dan kritik tentang adanya metana di planet merah.

Selain menemukan metana, tim ilmuwan NASA dengan wahana Curiosity juga mengungkap adanya molekul organik di pada batuan Mars.

"Konfirmasi pertama karbon organik pada batu Mars ini menyuguhkan banyak hal menjanjikan," kata Roger Summons seperti dikutip CNN, Kamis lalu.

Karbon organik itu bisa jadi terbentuk di Mars atau dibawa oleh meteorit. Sekaligus, karbon itu juga bisa menjadi tanda adanya kehidupan di Mars.

Meski demikian, semuanya kini masih tanda tanya. Belum ada satu pun bukti nyata adanya kehidupan di planet tersebut.
 

Pesawat Ruang Angkasa Baru Amerika Uji Terbang

Pesawat Ruang Angkasa Baru Amerika Uji Terbang
Foto yang dikeluarkan oleh NASA ini memperlihatkan pemandangan dari pesawat ruang angkasa Orion saat mengorbit pada uji coba penerbangan 5/12/2014

Sebuah pesawat ruang angkasa baru yang dimaksudkan untuk membawa para astronot Amerika kembali ke bulan telah diluncurkan dalam suatu uji terbang.

Kapsul Orion semula dijadwalkan diluncurkan pada hari Kamis dari kompleks peluncuran Cape Canaveral, Florida, tetapi berbagai masalah menyebabkan peluncurannya ditunda. Masalah tersebut antara lain kerusakan katup roket, kecepatan angin dan sebuah kapal berlayar di kawasan terlarang di lepas pantai kompleks tersebut.

Pesawat tanpa awak itu akan dua kali mengorbit bumi pada ketinggian lebih dari 14 kali ketinggian Stasiun Antariksa Internasional. Setelah penerbangan empat setengah jam, Orion akan kembali memasuki atmosfer Bumi dengan kecepatan 32 ribu kilometer per jam, sebelum mencebur ke Samudra Pasifik di lepas pantai Baja California.

Badan antariksa Amerika NASA menyatakan misi berawak pertama Orion tidak akan dilakukan sebelum tahun 2021. Segera setelah beroperasi penuh, Orion akan mengangkut dari empat hingga enam astronot ke mana saja dalam berbagai misi antariksa ke bulan, asteroid dan akhirnya ke Mars.

Uji Coba Pesawat Ruang Angkasa AS Berhasil

Uji Coba Pesawat Ruang Angkasa AS Berhasil
Roket Berat Delta IV dengan pesawat ruang angkasa Orion diluncurkan dari Cape Canaveral, Florida, 5/12/2014. Uji penerbangan pesawat ruang angkasa tersebut berhasil.


Sebuah pesawat ruang angkasa baru yang dimaksudkan untuk membawa para astronot Amerika kembali ke bulan dan tempat-tempat yang lebih jauh lagi telah kembali dari uji terbang, mencebur di Samudera Pasifik di lepas pantai Baja California.

Pesawat tanpa awak itu mengorbit bumi dua kali pada ketinggian lebih dari 14 kali ketinggian Stasiun Antariksa Internasional. Setelah penerbangan empat setengah jam, Orion kembali memasuki atmosfer Bumi dengan kecepatan 32 ribu kilometer per jam, dengan laju yang dikurangi oleh tiga parasut berwarna merah dan putih menjelang akhir pendaratannya. NASA menyebut cuaca yang cerah sebagai “kondisi yang tepat bagi kepulangan Orion.”

Kapsul Orion semula dijadwalkan diluncurkan pada hari Kamis dari kompleks peluncuran Cape Canaveral, Florida, tetapi berbagai masalah menyebabkan peluncurannya ditunda. Masalah tersebut antara lain adalah kerusakan katup roket, kecepatan angin dan sebuah kapal yang berlayar di kawasan terlarang di lepas pantai kompleks tersebut.

Badan antariksa Amerika NASA menyatakan misi berawak pertama Orion tidak akan dilakukan sebelum tahun 2021. Setelah beroperasi penuh, Orion akan mengangkut empat hingga enam astronot ke mana saja dalam berbagai misi antariksa ke bulan, asteroid dan nantinya ke Mars.


Foto Uji Coba Pesawat Antariksa Orion Berhasil Gemilang


Roket Delta IV Heavy membawa pesawat antariksa Orion terbang dari Stasiun Angkatan Udara Cape Canaveral, Florida, AS (512).
Roket Delta IV Heavy membawa pesawat antariksa Orion terbang dari Stasiun Angkatan Udara Cape Canaveral, Florida, AS (5/12).

Roket Delta IV Heavy membawa pesawat antariksa Orion terbang dari Stasiun Angkatan Udara Cape Canaveral, Florida, AS (512) 2

Roket Delta IV Heavy membawa pesawat antariksa Orion terbang dari Stasiun Angkatan Udara Cape Canaveral, Florida, AS (512) 3

Direktur NASA Charles Bolden (kiri) dan istrinya Jackie menyaksikan roket Delta IV Heavy dengan pesawat antariksa Orion meluncur dari Cape Canaveral (512).
Direktur NASA Charles Bolden (kiri) dan istrinya Jackie menyaksikan roket Delta IV Heavy dengan pesawat antariksa Orion meluncur dari Cape Canaveral (5/12).


Foto dari NASA-TV memperlihatkan pesawat antariksa Orion di atas roket United Launch Alliance Delta 4-Heavy rocket saat naik ke orbit dalam penerbangan uji coba pertama (512).
Foto dari NASA-TV memperlihatkan pesawat antariksa Orion di atas roket United Launch Alliance Delta 4-Heavy rocket saat naik ke orbit dalam penerbangan uji coba pertama (5/12).
Foto dari NASA-TV memperlihatkan pesawat antariksa Orion turun sebelum mencebur ke Samudera Pasifik (512).
Foto dari NASA-TV memperlihatkan pesawat antariksa Orion turun sebelum mencebur ke Samudera Pasifik (512).
Astronot-astronot NASA, dari kiri ke kanan  Rex Walheim, Jack Fischer dan Cady Coleman, bersorak sambil menyaksikan pendaratan pesawat antariksa Orion di ruang pers Pusat Antariksa Kennedy (512). (APJohn Raoux)
Astronot-astronot NASA, dari kiri ke kanan  Rex Walheim, Jack Fischer dan Cady Coleman, bersorak sambil menyaksikan pendaratan pesawat antariksa Orion di ruang pers Pusat Antariksa Kennedy (512). (APJohn Raoux)

Foto dari NASA-TV menunjukkan kapsul Orion mengapung setelah mencebur ke Samudera Pasifik (5/12).
Foto dari NASA-TV menunjukkan kapsul Orion mengapung setelah mencebur ke Samudera Pasifik (5/12).








Penjelajah NASA Temukan Senyawa Organik, Gas Metana di Mars

Penjelajah NASA Temukan Senyawa Organik, Gas Metana di Mars
Gambaran kendaraan penjelajah NASA, Curiosity, di permukaan Mars.


Studi-studi tambahan diperlukan untuk menentukan apakah senyawa-senyawa organik dan/atau gas metana yang diproduksi dalam kehidupan sebelumnya atau sekarang di Mars.

Kendaraan penjelajah Mars milik NASA, Curiosity, telah menemukan senyawa-senyawa yang mengandung karbon dalam sampel-sampel yang dibor dari batu prasejarah, deteksi definitif pertama dari senyawa-senyawa organik di permukaan planet tetangga Bumi tersebut.

Para ilmuwan NASA mengatakan kendaraan tersebut juga menemukan semprotan gas metana di atmosfer, bahan kimia yang di Bumi terkait kuat dengan kehidupan.

Studi-studi tambahan, yang mungkin di luar kemampuan kendaraan tersebut, diperlukan untuk menentukan apakah senyawa-senyawa organik dan/atau gas metana yang diproduksi dalam kehidupan sebelumnya atau sekarang di Mars atau apakah mereka berasal dari proses-proses geokimia.

"Kita telah memiliki penemuan besar. Kita telah menemukan bahan-bahan organik di Mars," ujar pemimpin tim ilmuwan Curiosity, John Grotzinger, dari California Institute of Technology di Pasadena, California, dalam konferensi pers di San Francisco.

“Mengenai probabilitas hal-hal ini merupakan sumber-sumber (kehidupan)... kita harus menghormati bahwa ada kemungkinan," ujarnya.

Ilmuwan: Hujan Komet Berujung Kehancuran Bumi


Ilmuwan Hujan Komet Berujung Kehancuran Bumi


Hujan meteor yang selama ini kita lihat merupakan pemandangan alam yang indah. Namun ke depan, bumi akan dihujani komet dan bisa menjadi sebuah malapetaka bagi bumi.

Jika prediksi ilmuwan Jerman itu benar, hujan komet akan bisa meluluhlantakkan bumi. Pasalnya akan ada sekelompok besar komet yang akan memasuki sistem tata surya dan mengancam bumi.

Menurut astrofisikawan dari Max Planck Institute untuk astronomi, ribuan komet itu akan memasuki sistem tata surya dan bertabrakan dengan bumi. Hasilnya akan menimbulkan kehancuran bagi bumi.

"Invasi komet ini bisa menghapus kehidupan di bumi secara keseluruhan dengan menciptakan ketidakseimbangan gravitasi dari sistem tata surya," tulis ilmuwan yang bernama Dr Coryn Bailer-Jones dalam laporannya, seperti dikutip dari IB Times, Senin 22 Desember 2014.

Laporan yang dipublikasikan oleh institusi Jerman itu juga mengungkapkan jika sejumlah asteroid dan komet yang pernah mengorbit di Neptunus berpotensi menjadi ancaman pada sistem tata surya kita.

"Bintang yang lewat hampir dekat dengan matahari akan mengganggu awan Oort. Mereka menyebabkan sejumlah komet masuk ke dalam sistem tata surya yang berpotensi tabrakan dengan bumi," kata Bailer-JOnes.

Dia tidak sembarangan menulis laporan seperti ini. Sebelumnya, ia telah melakukan penelitian dengan mencermati sekitar 50.000 matahari yang mengorbit di sekitar galaksi.

"Penelitian ini menggunakan simulasi Monte Carlo dengan membandingkan beberapa data kovarians. Ini bertujuan untuk menentukan ketidakjelasan waktu, jarak dan kecepatan dari pertemuan komet dengan bumi secara tepat," tulisnya dalam laporan tersebut.

Dalam laporannya, Bailer-Jones juga mengungkap jika Gliese 710 juga berpotensi mengganggu awan Oort. Ini juga bisa berujung pada serangkaian hujan komet mematikan ke dalam sistem tata surya.

Namun begitu, para penduduk bumi tidak perlu khawatir dengan bencana yang akan terjadi ini. Pasalnya, ini tidak akan muncul dalam waktu dekat. Hujan komet kemungkinan baru akan terjadi 500.000 tahun lagi.

Bangun dari Tidur Panjang, New Horizon Siap Memecahkan Misteri Pluto



Setelah 9 tahun dan mengarungi jarak 4,8 miliar kilometer, wahana New Horizon terbangun dari tidur panjangnya dan siap mempelajari Pluto serta kerabatnya di zona Sabuk Kuiper.

New Horizon bangun dari tidur pada Minggu (7/12/2014) sekitar pukul 03.00 WIB dini hari. Konfirmasi bangunnya wahana yang diluncurkan pada 19 Januari 2006 itu diterima sekitar pukul 09.30 WIB.

Wahana New Horizon saat ini berada pada jarak yang sangat jauh sehingga butuh waktu sekitar 4 jam 25 menit bagi sinyal radio untuk sampai ke Bumi. Itulah mengapa sinyal bangunnya New Horizon baru diterima beberapa jam kemudian.

Berkomentar tentang bangunnya New Horizon, Glen Fountain yang menjadi manajer misi mengatakan, "Secara simbolis, ini hal besar. Ini berarti awal perjumpaan kita (dengan Pluto)."

Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) seperti dikutip Reuters, Minggu, menyatakan bahwa misi penelitian New Horizon akan dimulai pada 15 Januari 2015 mendatang. Pada 14 Juli 2015, wahana itu akan mencapai titik terdekat dengan Pluto.

Penelitian tentang Pluto dan lingkungannya sendiri sangat penting. Hingga kini, Sabuk Kuiper tempat Pluto bernaung adalah wilayah Tata Surya yang bisa dibilang masih perawan, belum dijelajahi.

Sejak penemuannya pada tahun 1930, Pluto menjadi misteri. Ilmuwan belum bisa memahami bagaimana benda langit berdiameter 1.190 kilometer bisa eksis di wilayah yang lebih jauh dari Neptunus dan Jupiter.

"Kami bertanya-tanya mengapa Pluto terletak di tempat tidak pas," kata Alan Stern, peneliti NASA. "Pengetahuan kita tentang Pluto saat ini seperti pengetahuan kita tentang Mars 50 tahun lalu," imbuhnya seperti dikutip LA Times, Minggu.

Saat ini, New Horizon berada pada jarak 260 juta kilometer dari Pluto. Masih butuh beberapa saat untuk sampai di orbit benda langit itu. Saat mencapai jarak terdekat Juli mendatang, New Horizon bakal berada pada jarak 12.392 kilometer dari Pluto.

Pluto sendiri adalah mantan planet di Tata Surya. Pada tahun 2006, Pluto dicabut statusnya sebagai planet karena ukurannya yang kecil serta orbitnya yang memotong orbit Neptunus sehingga kadang lebih dekat dengan Matahari.

Tahun 1992, ilmuwan menemukan banyak benda mini di sekitar Pluto. Benda-benda mini tersebut dipercaya merupakan sisa-sisa pembentukan Tata Surya 4,6 miliar tahun lalu. Pluto beserta benda-benda mini itu kini disebut planet kerdil.


Sudah Saatnya Indonesia Lebih Mandiri soal Satelit



Sudah waktunya Indonesia lebih mandiri soal satelit. Saat ini, Indonesia masih bergantung pada satelit milik dan buatan asing.

Hal itu mengemuka dalam seminar nasional keantariksaan yang diadakan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Rabu (10/12/2014), serta diskusi pencapaian akhir tahun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Senin (8/12/2014).

Dani Indra Widjanarko dari Asosiasi Satelit Indonesia mengatakan bahwa semua satelit yang dimiliki Indonesia saat ini adalah milik dan buatan asing.

"Sekarang konsumsi kita itu 30 satelit. Dari 30, yang milik Indonesia hanya enam. Di antara enam yang kita punya, itu beli semua. Padahal, kita seharusnya bisa membuat satelit sendiri," kata Dani dalam diskusi Lapan hari ini. 

Pengembangan satelit sendiri, menurut Dani, diperlukan sebab kebutuhan dalam negeri yang memang besar.

"Indonesia beda dengan negara lain. Argentina bikin satelit sendiri, tetapi yang serap hanya satu-dua. Kita ini negara kepulauan, tidak mungkin masing-masing pulau dihubungkan dengan kabel," kata Dani.

Kebutuhan Indonesia akan satelit diprediksi terus meningkat. Untuk satelit komunikasi, kebutuhan meningkat seiring penetrasi mobile, televisi berbayar, serta pembangunan desa.

Sementara itu, kebutuhan satelit remote sensing juga meningkat terkait dengan visi pemerintahan baru. Pengamatan aktivitas di lautan, penginderaan hutan, dan kebencanaan akan membutuhkan bantuan satelit.

Dalam kesempatan terpisah, Ridwan Djamaluddin, Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT, mengatakan bahwa sudah saatnya Indonesia punya satelit sendiri.

Satelit lokal dibutuhkan ketika Indonesia memiliki kebutuhan spesifik. "Misalnya, kita ingin data peta banjir di kawasan Pantura. Ternyata kita tidak bisa dapatkan dengan satelit asing. Kalau punya sendiri, kita bisa upayakan," katanya.

Suhermanto dari Lapan mengatakan bahwa saat ini pihaknya sudah menyiapkan satelit untuk mendukung keperluan negara.

Satelit yang dikembangkan antara lain Lapan Tubsat yang juga mampu mendukung pengamatan maritim, satelit Lapan A2 yang akan diluncurkan tahun 2015 mendatang, serta satelit Lapan A-3 hasil kerja sama Lapan dengan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Dani mengatakan, pengembangan riset serta industri yang memproduksi satelit diperlukan untuk lebih mandiri dalam soal komunikasi dan penginderaan.

Rp 4,5 Triliun untuk Kembangkan Satelit Inderaja

Rp 4,5 Triliun untuk Kembangkan Satelit Inderaja


Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional menargetkan mampu membuat satelit penginderaan jauh nasional pada 2019. Demi mewujudkannya dibutuhkan anggaran sekitar Rp 4,5 triliun, selain sumber daya manusia yang belajar di negara lain.

”Jangan dianggap boros karena untuk mewujudkan kemandirian bangsa (dalam pengembangan teknologi antariksa),” kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin di sela-sela diskusi penyusunan rencana induk keantariksaan oleh Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional di Jakarta, Rabu (10/12/2014).

Kepala Pusat Kerja Sama Internasional Kementerian Komunikasi dan Informatika Ikhsan Baidirus mengatakan, Indonesia harus menguasai teknologi pembuatan satelit dengan cara apa pun. Sebab, tak akan ada negara yang sukarela berbagi teknologinya kepada negara lain.

Perkiraan kasar kebutuhan dana pembuatan satelit penginderaan jauh (inderaja) itu, kata Thomas, memang sangat besar. Apalagi jika dibandingkan anggaran Lapan sebagai lembaga riset dan rekayasa teknologi dirgantara dan antariksa Indonesia yang Rp 650 miliar setahun.

Jika dibandingkan harga pembelian BRI Sat, satelit milik Bank Rakyat Indonesia, sebesar Rp 2,5 triliun, anggaran itu realistis. Terlebih lagi pembuatan satelit inderaja nasional akan menjadi batu loncatan untuk membuat satelit telekomunikasi sendiri.
Dua satelit

Dana sebesar itu untuk membangun dua satelit yang masing- masing perlu Rp 1,5 triliun. Sisanya untuk pengembangan fasilitas pendukung, seperti sarana uji dan ruang steril.

Satelit tersebut akan diluncurkan menggunakan roket peluncur negara lain, seperti India, Tiongkok, atau Jepang. Lapan memang sedang mengembangkan roket peluncur satelit sendiri, tetapi masih tahap awal serta terkendala laboratorium dan kepakaran.

Menurut Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, anggaran riset yang disediakan pemerintah disusun berdasarkan capaian hasil riset, bukan aktivitas riset yang dilakukan. Dana yang dikeluarkan juga akan ditinjau berdasarkan manfaat untuk masyarakat.

Menurut rencana, satelit inderaja digunakan untuk mendukung penyediaan peta dasar tata ruang Indonesia. Selama ini, peta inderaja Indonesia dengan berbagai tingkat resolusi diperoleh menggunakan satelit asing milik Amerika Serikat, Jepang, dan Perancis.

”Program kemaritiman pemerintah pun butuh data satelit inderaja,” kata Thomas.

Selain keperluan tata ruang, pemantauan kapal-kapal, termasuk kapal penangkap ikan di perairan Indonesia, juga bisa menggunakan satelit yang dilengkapi sistem identifikasi otomatis (automatic identification system/ AIS). Sistem itu akan menangkap sinyal yang dipancarkan kapal-kapal dengan bobot lebih dari 300 gros ton.

Kepala Pusat Teknologi Satelit Lapan Suhermanto mengatakan, perangkat AIS sebenarnya sudah ada di pelabuhan. Namun, akibat persoalan lengkung bumi, AIS hanya mampu menangkap sinyal kapal dalam jarak 50 kilometer. ”Jika AIS ditempatkan di satelit bisa menerima sinyal kapal dalam radius 200 km,” katanya.

Satelit Lapan A2 yang menurut rencana diluncurkan Juni-Agustus 2015 akan dilengkapi sistem AIS.


Intip Jam Tangan Khusus bagi Astronaut

Intip Jam Tangan Khusus bagi Astronaut


Ada beragam merek jam tangan yang dibuat untuk kebutuhan masing-masing. Tentunya setiap produk jam tangan memiliki karakteristik dan fitur khusus.

Misalnya, jam tangan untuk para pekerja pertambangan tentu dilengkapi dengan fitur khusus yang memiliki daya tahan tertentu. 

Bukan hanya pekerja pertambangan yang membutuhkan jam tangan khusus. Astronaut pun butuh jam tangan. Untungnya, Omega, produsen jam tangan mewah Swiss, juga memproduksi jam tangan bagi astronaut. 

Omega tercatat telah mengembangkan jam tangan bagi astronaut sejak 1965 dan hingga kini tetap menyediakan jam tangan khusus untuk mendukung eksplorasi antariksa.

Pada 1965, Omega membuat Omega Speesmaster yang telah mendapat sertifikasi perjalanan antariksa dari Badan Antariksa Nasional AS (NASA). Kemudian pada Juli 1969, Omega Speedmaster menjadi jam tangan pertama di bulan.

Dan hingga kini, melansir Cnet, Selasa 16 Desember 2014, Omega terus melanjutkan produksi jam tangan. Teranyar, produsen itu merilis Omega Speesmaster Skywalker X-33.

Jam tangan ini memiliki fitur yang dikembangkan dan dipatenkan oleh astronaut Badan Antariksa Eropa (ESA), Jean-François Clervoy. Ia telah menghabiskan pengalaman di antariksa selama 675 jam. 

Membayangkan antariksa tentu saja jam tangan ini memiliki kemampuan khusus. Secara umum jam tangan Omega ini digunakan untuk menetapkan waktu dan tanggal baik di masa lalu maupun di masa depan.

Jam tangan juga memiliki sejumlah alarm dengan nada yang berbeda. Fitur ini setidaknya mendukung untuk tugas pelacakan dan misi di antariksa. 

"Kami senang teman-teman kami di Badan Antariksa Eropa telah menguji dan memenuhi syarat Speedmaster Skywalker X-33 untuk semua misi uji coba. Ini merupakan perjalanan hubungan kami dengan NASA dan program antariksanya," jelas Presiden Omega, Stephen Urquhart. 

Bos Omega itu menambahkan Speesmaster Skywalker X-33 memiliki 12 fungsi secara keseluruhan, yaitu pengaturan jam, menit, detik hingga tiga zona waktu berbeda. Selain itu, ada fungsi chronograph, kalender abadi, LDC digital serta layar analog dengan Super-Luminova-Coated, yang memudahkan saat berada di tempat gelap. 

Dari sisi interior, jam tangan ini dibungkus dengan casing titanium kelas 2 dan dengan gelang jam tangan yang memiliki fitur daya tahan. Jam ini didukung dengan gerakan chronograph kuarsa multifungsi, Omega kaliber 5619.

Serangkaian Uji Coba


Untuk menciptakan jam tangan ini tentu tak mudah. Omega menjalani serangkaian uji coba. Pertama menguji secara ketat di fasilitas Eetec ESA, di Noordwijk, Belanda, dalam kondisi antariksa.

Tujuannya untuk memastikan jam tangan bisa bertahan seperti astronaut. Uji coba termasuk tekanan tujuh kali gravitasi Bumi. Pengujian ini agar jam tangan bisa bertahan dari getaran pesawat antariksa saat peluncuran. 

Tak berhenti di situ saja, jam tangan juga diuji dengan pengujian suhu ektrem dalam ruang vakum, dari suhu -45 derajat hingga 75 derajat celcius. Pada tes ini jam tangan dibombardir dengan radiasi dengan pengawasan penuh Onera Desp, Laboratorium Kedirgantaraan Prancis. Setiap jam laboratorium akan mengulas sejauh mana fungsi jam tersebut. 

Speedmaster Skywalker X-33 tersedia dengan harga US$5900 (Rp75,6 juta) Untuk mengetahui lebih lanjut, Anda bisa menginstal pada aplikasi khusus jam tangan ini pada aplikasi iOS.

Jepang Kirim Robot untuk Ledakkan Asteroid

Jepang Kirim Robot untuk Ledakkan Asteroid


Setelah terkendala masalah cuaca, Badan Penjelajah Antariksa Jepang (JAXA), akhirnya berhasil meluncurkan robot ruang angkasa generasi kedua, Hayabusa 2, untuk mendarat di permukaan asteroid.

Peluncuran tersebut telah dilakukan JAXA di Tanegashima Space Center. Itu terletak di selatan negara Jepang. Dalam, peluncuran itu tidak ada kendala yang berarti sampai Hayabusa mampu menembus atmosfer dan memulai perjalanannya selama enam tahun.

Dilansir, Channel News Asia, Kamis 4 Desember 2014, badan antariksa negeri "Matahari Terbit" itu akan mengambil sampel dari asteroid 1999JU3. Asteroid tersebut menjadi target untuk menemukan jawaban tentang awal kehidupan dan alam semesta.

Meski misinya hampir sama dengan Philae yang menargetkan pendaratan di asteroid 67P/CG, Hayabusa 2 tidak akan mendarat di asteroid yang dtargetkan. Robot itu dilengkapi dengan sebuah alat yang dapat meledakkan asteroid, sehingga ketika puing-puingnya bertebaran, Hayabusa akan mengumpulkan puing tersebut dan dijadikan sampel batu ruang angkasa untuk dibawa kembali ke Bumi.

"Jika mampu membawa kembali materi (asteroid), dengan cara kami, maka kami menyebutnya sukses," ungkap Akitaka Kishi, Wakil Manajer Lunar and Planetary Eksploration Program.

Kishi melanjutkan, sampel berupa batu-batu dan pasir, hasil pengambilan Hayabusa 2, akan ditindaklanjuti dengan analisis temuan tersebut.

"Untuk umat manusia, ini akan menjadi temuan baru yang mungkin bisa berarti penemuan baru bagi manusia. Membawa kembali materi merupakan salah satu tujuan, tetapi hasil penelitian dari temuan tersebut adalah masa depan," papar Kishi.

Hayabusa, yang disebut sebagai misi yang menghabiskan dana senilai US$260 juta ini, diperkirakan mencapai asteroid pada pertengahan 2018. Di sana, robot tersebut akan menghabiskan waktu selama 18 bulan untuk menjelajah asteroid 1999JU3 yang berada dekat dengan Bumi.

Bila sudah menyelesaikan misinya, Hayabusa 2 akan kembali ke Bumi pada akhir 2020.

Sebelumnya, JAXA telah sukses meluncurkan robotik Hayabusa generasi pertama pada 2003 dan mendarat di asteroid Itokawa. Namun, sayangnya saat itu terkendala masalah teknis, sehingga ilmuwan kehilangan komunikasi dengan Hayabusa.

Perisai Bumi ala Film Star Trek Itu Nyata

Perisai Bumi ala Film Star Trek Itu Nyata


Sekelompok ilmuwan yang dipimpin oleh pakar University of Colorado Boulder menemukan perisai pelindung Bumi. Ini sama dengan apa yang diperlihatkan pada film Star Trek.

Perisai Bumi itu tidak memiliki bentuk dan tidak bisa terlihat kasat mata. Meski jaraknya sekitar 7.200 mil dari atas Bumi, dipercaya tudung transparan itu mampu melindungi planet ini dari apa yang namanya "elektron pembunuh".

Elektron tersebut, yang berjalan dengan kecepatan hampir sama dengan cahaya, mampu merusak benda elektronik yang ada di luar angkasa. Bahkan, astronot bisa berada dalam bahaya.

Perisai pelindung tersebut terbuat dari partikel bergerak yang membentuk semacam pembatas, digambarkan sebagai materi yang transparan. Perisai ini ditemukan di sabuk radiasi Van Allen di atas Bumi.

Menurut Profesor Daniel Baker, Direktur Laboratorium Fisika Atmosfer dan Luar Angkasa di UC-Boulder, sabuk radiasi itu berdiam di medan magnetik Bumi. Bentuknya mirip dua lingkaran donat yang dipersenjatai dengan energi proton dan elektron tingkat tinggi.

"Elektron-elektron ini seperti bergerak-gerak di dalam dinding kaca di luar angkasa. Perisai ini mirip seperti yang ada di filmStar Trek, yang biasa digunakan untuk melumpuhkan senjata alien yang ingin menyerang Bumi. Ini merupakan fenomena yang sangat menarik," ujar Baker, seperti dikutip melalui Fox News, Selasa 2 Desember 2014.

Ilmuwan menemukan batasan yang sangat tajam di tepi bagian dalam sabuk radiasi luar. Sepertinya, ini yang berfungsi sebagai pemblokir "elektron pembunuh" agar tidak bisa menembus perisai dan masuk ke atmosfer Bumi.

Tim ilmuwan awalnya mengira jika elektron ini bisa masuk ke atmosfer tertinggi Bumi dan bisa hilang diterpa molekul udara. Namun, hal ini tidak terbukti.

Sabuk radiasi ini dinamai setelah nama penemunya, James Van Allen, fisikawan dari University of Iowa ini menemukan sabuk di alam semesta itu pada 1958. Van Allen, yang dinobatkan sebagai peneliti pionir bidang magnetospheric luar angkasa, meninggal pada 2006 saat berusia 91 tahun.

2015, Eksplorasi Pluto Dimulai

2015, Eksplorasi Pluto Dimulai


Setelah mengalami hibernasi berkali-kali, dalam perjalanannya yang panjang, sebuah kendaraan luar angkasa diperkirakan akan mendekati Pluto. Tepatnya pada 15 Januari tahun depan.

Kendaraan luar angkasa bernama New Horizon (NH) itu akan terbangun dari hibernasinya pada 6 Desember nanti dan akan bersiap mendekati Pluto. Diperkirakan, NH akan berada dekat dengan Pluto, atau sekitar 6.200 mil dari permukaan planet itu pada 14 Juli nanti. Jika hal itu terjadi, NH akan menjadi objek buatan manusia yang berjarak dekat dengan planet kerdil itu.

Misi ini menandai kunjungan pertama kendaraan buatan manusia di luar orbit Neptunus menuju Sabuk Kuiper. Salah satu sabuk alam semesta itu terdiri dari Pluto dan ribuan objek lainnya di semesta yang belum diidentifikasi.

"Ini merupakan penampilan pertama di wilayah baru yang berbatu, planet dingin," ujar staf informasi publik John Hopkins University Applied Physics Laboratory, Michael Buckley, seperti dikutip dari ABC News, Rabu 3 Desember 2014.

NH sejatinya telah diluncurkan dari Bumi sejak 2006 lalu. Kepergiannya menggunakan roket Atlas V dan sekarang berada 2,9 miliar mil jauhnya dari Bumi. 

Selama perjalanan 9 tahun itu, NH telah mengalami hibernasi berkali-kali dengan durasi yang berbeda. Mulai dari 36 sampai 202 hari, untuk sekali hibernasi. Jika ditotal, ia mengalami hibernasi selama 5 tahun dan perjalanan real selama 4 tahun. Hibernasi bertujuan untuk mempertahankan tenaga dan memungkinkan ilmuwan memiliki banyak waktu untuk merencanakan eksplorasi di luar angkasa. 

Setiap minggu, NH mengirimkan sinyal suara kepada para ilmuwan di stasiun dasar untuk menunjukkan bahwa dirinya masih berfungsi dengan baik. Jika nanti terbangun pada 6 Desember, NH akan mengirimkan sinyal radio ke stasiun kendali misi yang terletak di komplek John Hopkins University di Maryland, Amerika.

Ilmuwan akan menggunakan waktu selama enam minggu, setelah terbangunnya NH, untuk mengecek memori, navigasi dan fungsi lainnya. Lalu mereka akan memulai tahapan observasi pada Januari, mengambil foto dan ukuran planet kerdil dan benda lain yang mengorbit. Tidak lupa mereka juga akan meneliti atmosfir dan bagaimana cara planet itu berinteraksi dengan matahari.

"Periode observasi akan terus dilakukan sampai April. Mungkin penggambaran planet dan sekitarnya akan bisa kami dapatkan dengan jelas pada bulan Mei. Penggambaran yang lebih baik ketimbang mengandalkan teleskop Hubble. 2016, misi NH akan berakhir," ujar pimpinan misi NH, Alan Stern.

Para ilmuwan John Hopkins berharap NASA akan terus membiayai misi ini agar bisa terus berlanjut dan memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi lebih dalam.


Asteroid Seukuran Gunung Mengintai Bumi

Asteroid Seukuran Gunung Mengintai Bumi


Bumi kembali harus waspada dengan adanya temuan asteroid raksasa. Seorang ilmuwan Moscow State University, Rusia, Vladimir Lipunov, mengaku menemukan asteroid seukuran gunung yang melewati orbit bumi dalam periode tiga tahunan.

Untungnya, asteroid dengan ukuran 400 meter itu diprediksi tak akan menghantam ke permukaan bumi dalam waktu dekat, melansir Daily Mail, Rabu 10 Desember 2014.

Jika itu menghantam permukaan bumi, akibatnya bisa fatal. Ilmuwan memperkirakan, kekuatan asteroid yang bernama 2014 UR116 itu seribu kali dari kekuatan meteor yang menembus atmosfer bumi di Chelyabinsk, Rusia pada 2013 lalu.

Meteor seukuran bus di Rusia saja, saat itu melukai 1.600 orang di wilayah tersebut. Hantaman asteroid 2014 UR116 juga diperkirakan 20 kali dari bom atom Hiroshima, Jepang.

Namun demikian, meski diprediksi tak membahayakan bumi, tetapi Lipunov meminta para astronom untuk senantiasa mewaspadai asteoid yang ditemukan 27 Oktober 2014 dari MASTER-II observatory di Kislovodsk, Russia. Sebab, lintasan asteroid 2014 UR116 sulit dikalkulasi, mengingat secara konstan berubah oleh tarikan gravitasi planet lain. 

"Kita butuh secara permanen melacak asteroid ini, sebab kesalahan kecil mengalkulasi dapat menyebabkan konsekuensi serius," kata dia mengingatkan. 

Lipunov menambahkan, jalur pasti asteroid ini tak mungkin ditentukan, tetapi secara teori batu antariksa itu bisa saja menghantam Bumi, Mars, dan Venus. 

Sementara itu, Badan Antariksa Nasional AS (NASA) turut angkat bicara. NASA mengatakan asteroid itu tak akan menabrak bumi. 

"Asteroid itu memiliki periode orbit tiga tahun di sekitar matahari dan secara periodik kembali ke tetangga bumi. Ini tak mewakili sebuah ancaman, sebab jalur orbitnya tak cukup dekat dengan orbit bumi," ujar NASA. 

Namun, ilmuwan Tim Spahr, Direktur Pusat Planet Kecil dari Cambridge Massachusetts memperkirakan. asteroid ini akan menjadi ancaman bagi bumi setidaknya dalam 150 tahun ke depan. 

Prediksi itu disampaikan, setelah Spahr memasukkkan simulas asterodi 2014 UR116 dalam skenario komputasi di kantor program Objek Dekat Bumi NASA di Jet Propulsion Laboratory, AS.

Astronom memperkirakan, setidaknya ada 100 ribu objek dekat bumi yang bisa melintasi orbit bumi dan masuk dalam kategori objek besar yang berbahaya. Namun, dari jumlah itu, sejauh ini hanya 11 ribu saja yang telah terlacak dan terkatalogkan. 

Untuk itu, para astronom gencar menyerukan upaya negara dunia untuk mengantisipasi bahaya dari batu antariksa di masa depan. 

Setidaknya, belum lama ini 100 ilmuwan mendeklarasikan gerakan 100X Asteroid Deklarasi itu untuk menyerukan kepedulian dunia, menemukan teknologi menangkal asteroid. Di antara iniasitor gerakan tersebut, yaitu tokoh astronom asal Inggris, Royal Lord Martin Rees, pakar biologi evolusii Richard Dawkins sampai astronom Kanada, Chris Hadfield dan presenter TV, Brian Cox.

Teleskop Masa Depan Bisa Lihat Seluruh Semesta



Para ilmuwan percaya jika dalam beberapa dekade ke depan, mereka bisa melihat seluruh isi alam semesta. Hal ini dikarenakan teknologi yang semakin canggih.

Teleskop beberapa generasi ke depan akan semakin handal dan mumpuni. Bahkan dimungkinkan untuk melihat segala sesuatunya yang ada di jagad raya.

"Teleskop masa depan mampu mensurvei apa saja yang ada di langit dan di atasnya, dari berbagai arah pandangan, dan bisa memprediksi sejak dimulainya suatu kehidupan," ujar Prof. Tamara Davis, astrofisikawan dari University of Queensland, seperti dikutip Phys.org, Jumat 5 Desember 2014.

Sayangnya, menurut Davis, penglihatan teleskop akan sedikit terhalang oleh lebarnya langit kosmik, sebuah batasan fisik terhadap apa yang bisa kita lihat. Ini akan menjadi penghalang, bukan dikarenakan keterbatasan perangkat yang dimiliki.

"Untuk pertama kalinya, pengetahuan kita akan dibatasi oleh fisik dari semesta itu sendiri, ketimbang kemampuan perangkat yang kita punya," ujarnya.

Namun begitu, lanjut dia, meski para astronom mampu melihat apa saja yang terjadi, itu tidak berarti mereka telah memahami apa yang telah mereka temukan. 

"Contohnya, kita bisa melihat pembentukan galaksi tapi belum bisa dipahami apa hukum fisika yang sampai bisa membuat itu terjadi," paparnya.

Davis sendiri saat ini sedang memegang dua proyek besar alam semesta. Pertama adalah penelitian tentang materi gelap (sesuatu yang membuat galaksi bisa terikat satu sama lain), dan energi gelap (sesuatu yang membuat ekspansi semesta menjadi lebih cepat).

Davis adalah ilmuwan yang cukup aktif. Ia masuk dalam jajaran teratas ilmuwan aktif yang hanya sekitar satu persen dari total ilmuwan yang ada di dunia. Dia memiliki 60 publikasi dan dua paper yang telah dipublikasi di Nature, berikut 10 paper lainnya.

Ilmuwan Desak Negara di Dunia Ciptakan Pendeteksi Asteroid

Ilmuwan Desak Negara di Dunia Ciptakan Pendeteksi Asteroid


Para ilmuwan percaya asteroid merupakan ancaman terbesar yang mampu memusnahkan bumi serta kehidupan di dalamnya. Mereka mendesak pemerintah dunia untuk segera melakukan langkah antisipasi.

Sebanyak lebih dari 100 ilmuwan menyatukan pendapat mendesak pemerintah dunia, khususnya Inggris, untuk membuat sistem pendeteksi asteroid berbahaya. Jika tidak dilakukan maka mereka sangat yakin akan terjadinya kiamat dalam waktu dekat. Demikian dilansir dari Telegraph, 5 Desember 2014.

Para ilmuwan tersebut termasuk astronom Inggris, Lord Martin Ress, bersama Brian Cox, dan Richard Dawkins. Untuk mengutarakan desakan tersebut, mereka akan menggelar perhelatan di museum sains London. Nantinya, Lord Rees akan membacakan deklarasi berisi 'rencana untuk memecahkan tantangan terbesar manusia guna melindungi keluarga dan kualitas hidup di bumi di masa depan'.

Dalam deklarasi itu juga tertulis permintaan kepada pemerintah untuk duduk bersama memanfaatkan teknologi yang ada. Pemanfaatan ini guna melacak asteroid terdekat dengan bumi.

Selain itu mereka juga akan menetapkan tanggal 30 Juni 2015 sebagai Hari Asteroid Dunia. Itu sesuai dengan tanggal jatuhnya asteroid di Tunguska, Siberia, yang menghancurkan wilayah seluas 800 mil persegi pada 1908.

"Saat ini kita hanya menemukan kurang dari satu persen objek berbahaya yang mengancam bumi. Ini belum seberapa dibanding yang pernah jatuh di Tunguska. Ke depannya, kita tidak tahu kapan dan sebesar apa benda lain yang akan mampu menabrak bumi," ujar Dr Brian May, astrofisikawan yang juga pernah dikenal sebagai gitaris Queen.

Ditambahkan mantan astronaut yang telah 3 kali bolak balik ISS, Dr Ed Lu, dunia sebenarnya memiliki teknologi untuk memprediksi asteroid pengancam bumi. Namun butuh kerja keras dan waktu yang lama untuk menelitinya. Oleh karena itu seluruh pembuat keputusan di dunia harus bersatu mewujudkan sistem ini.

"Sekarang kita harus mencari cara untuk melakukannya. Hanya inilah bencana alam yang bisa kita ketahui cara untuk mencegahnya," ujar Lu.

Deklarasi yang akan dibacakan Lord Rees ini telah ditandatangani oleh ratusan ilmuwan, fisikawan, seniman, astronot dan pengusaha dari 30 negara di dunia. Di antaranya ada juga 38 astronaut dan kosmonaut termasuk Helen Sharman, Tom Jones, Ed Lu dan Rusty Schweickart. Ilmuwan yang turut serta juga ada Anousheh Ansari, Kip Thorne, dan Stewart Brand.

Tersedia Layanan Tabur Abu Jenazah dari Antariksa

Tersedia Layanan Tabur Abu Jenazah dari Antariksa


Ritual membakar jenazah memang telah dilakukan oleh beberapa masyarakat tertentu. Abu hasil pembakaran mayat itu biasanya dibuang ke laut lepas atau sungai. Ritual ini diyakini sebagai simbol melepaskan roh dari belenggu duniawi. 
Namun ada cara lain untuk menghormati abu jenazah yang bisa membuat kita mengernyitkan dahi. Alih-alih membuang abu di laut atau sungai, secara ekstrim perusahaan asal Kentucky, Amerika Serikat, Mesoloft, menyediakan layanan penaburan abu jenazah dari luar bumi alias dari antariksa.

Melansir Daily Mail, Senin 15 Desember 2014, layanan ini menjanjikan penaburan abu jenazah dengan menggunakan balon udara. Balon itu akan terbang pada ketinggian 22 Km dari atas pemukaan bumi, begitu mencapai titik itu, balon akan secara otomatis membuka dan abu jenazah ditaburkan.

"Saat balon mencapai ketinggian yang seharusnya, bagian bawah balon akan membuka muatan. Karena ini berada di wilayah kedap, maka akan menarik melihat abu keluar," jelas perusahaan itu. 

Mengingat ketinggian itu sudah berada di luar atmosfer, maka kemungkinan abu akan berada di antariksa selama berbulan-bulan sebelum sampai ke permukaan bumi.

Perjalanan abu ini berbeda dengan abu letusan gunung vulkanik, yang bisa mencapai daratan dalam hitungan hari bahkan jam. Sebab abu vulkanik melambung di bawah lapisan atmosfer. 

"Para ilmuwan tak tahu berapa lama abu akan berada di ketinggian seperti kita melihat abu letusan vulkanik. Mungkin butuh waktu berbulan-bulan untuk sampai ke bumi," tulis perusahaan tersebut.


Layanan penaburan abu di antariksa itu juga bakal makin jadi momentum tak terlupakan. Sebab perusahaan juga menyertakan kamera GoPro, untuk mengabadikan langsung detik-detik penaburan abu dari antarksa. 
Dengan demikian, kerabat dan keluarga almarhum bisa menyaksikan momentum ini dari daratan melalui perangkat komputasi. 

Penaburan abu yang tak lazim ini menawarkan pilihan harga. Paket mulai dari US$2800 (Rp35,4 juta) untuk peluncuran balon dari wilayah Indiana, Colorado dan New Mexico, AS dan paket lain seharga US$7500 (Rp94,9 juta) untuk opsi peluncuran dari lokasi manapun sesuai keinginan.

Kisah Pria Banting Setir dari Dunia Antariksa ke Bisnis e-Commerce

Kisah Pria Banting Setir dari Dunia Antariksa ke Bisnis e-Commerce



Tak semua orang merasa nyaman berkarir dalam dunia keantariksaan. Riset dan misi yang berjangka panjang dirasakan bukan sebagain tantangan pribadi. Hal ini dirasakan oleh bos e-commerce Foodpanda Indonesia, Sander van der Veen, yang ternyata pernah bergelut di keantariksaan selama beberapa bulan di Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA).

"Ya, saya pernah berada selama lima bulan di JAXA sebagaiengineering dari Februari hingga Juni tahun 2010," ujar van der Veen yang menjabat Managing Director Foodpanda Indonesia, kepada VIVAnews di Jakarta, Selasa, 16 Desember 2014.

Kemudian ia menceritakan kisah perjalanan selama bekerja di badan antariksa milik negara Matahari Terbit itu. Di sana, kata Van der Veen, dia membuat program simulasi untuk pesawat ruang angkasa berukuran kecil milik JAXA.

"Nantinya pesawat itu akan digunakan untuk misi Mars pada tahun 2024," ungkapnya.

Ketika disinggung kenapa banting setir dari mengurusi pesawat antariksa menjadi mengurusi bisnis e-commerce, pria asal Belanda itu menuturkan ada persoalan pribadi di belakangnya.

"Saya lebih suka pekerjaan duduk diam dan saya kurang menyukai dengan pekerjaan yang misinya butuh waktu lama seperti antariksa. Maka dari itu saya merambah dunia e-commerce di Indonesia," kata dia.

Sebelum menjajal dunia e-commerce, pria lulusan University of Twente, Belanda, ini pernah mencicipi karir di Shell Global Solution selama kurun waktu September 2010 hingga Juli 2011.

Selain itu juga, Van der Veen pernah bekerja di Strategy Consultant yang berbasis di Amsterdam, Belanda. Di sana, ia bekerja dari November 2011 sampai November 2013.


Asal-usul Air Bumi dari Komet Makin Buram


Asal-usul Air Bumi dari Komet Makin Buram


Teka-teki asal usul air di bumi makin buram. Anggapan air bumi di masa lalu berasal dari komet telah terbantahkan. 

Kesimpulan ini disampaikan setelah pesawat Badan Antariksa Eropa (ESA), Roseeta yang mengorbit komet komet 67P/Churyumov-Gerasimenko menemukan air yang berbeda dengan air yang ada di bumi, melandir Daily Mail, Kamis 11 Desember 2014.

Sebagaimana diketahui, Rosetta meneliti permukaan komet yang dikenal dengan nama komet 67P itu melalui robot peneliti Philae, yang mendarat ke permukaan pada November lalu. Ternyata temuan menunjukkan komposisi air komet sangat berbeda dari bumi.

Hasil air yang ditemukan mengandung senyawa yang lebih berat, yaitu adanya isotop hidrogen yang disebut deuterium. Karakteristik air itu berbeda dengan yang ada di bumi.

"Pertanyaannya adalah siapa yang membawa air ke bumi? Apakah itu komet atau karena sebab lainnya?" kata Kathrin Altwegg, peneliti Universitas Bern, Swiss yang merupakan penulis utama studi terheran. 

Ia menduga jika bukan komet, kemungkinan pembawa unsur kehidupan di bumi itu adalah asteroid. Tapi anggapan ini banyak ditentang oleh ilmuwan lain. 

Selama ini diyakini sumber air di bumi pada masa lalu berasal dari komet. Air terbawa ke bumi pada 4 miliar tahun lalu. Untuk itulah pesawat antariksa Rosetta meneliti permukaan komet 67P. 

Banyak ilmuwan meyakini bermiliaran tahun lalu, saat pertama kali terbentuk, bumi memang sudah memiliki air. Namun saat itu situasi bumi sangat panas sekali, untuk itu adanya air dianggap tak mungkin berasal dari pembentukan bumi secara mandiri. Peneliti menduga air itu berasal dari sumber luar bumi, yang kemudian merujuk pada komet. 

Meski sampel yang didapatkan dari komet 67P tak menunjukkan titik terang asal usul air bumi, tapi hasil itu bahan untuk mempelajari komet secara lebih dalam. 

Gagal di komet 67P, peneliti masih bisa mendalami komet lain untuk mengetahui asal usul air. Sampai saat ini tiga calon lokasi sumber air bumi bisa diduga berasal dari komet dari Oort Cloud, yang mengelilingi Tata Surya, komet dari Kuiper Belt, yang mengorbit matahari melalui Neptunus dan Pluto serta asteroid dari sabuk antariksa antara Mars dan Jupiter. 

Upaya meneliti air di komet sudah dilakukan hampir tiga dekade lalu, tepatnya 1986. Saat itu pesawat antariksa telah mendekati komet Halley, dari kelompok komet Oort Cloud, dari jarak 400 mil. Saat itu peneliti menganalisa air komet Halley dan menemukan air dari komet ini lebih berat dari air bumi. 

Sementara tiga tahun lalu, teka-teki air bumi menunjukkan hasil yang menggembirakan, peneliti mendalami air di komet Hartley 2 dari kategori komet Kuiper Belt, dan hasilnya paling mendekati air bumi. Temuan ini makin menguatkan hipotesa air berasal dari komet Kuiper Belt. 

Namun sayangnya, pada analisa air terakhir di komet 67P menunjukkan hasil yang berbeda. Padahal diketahui komet 67P merupakan kategori komet dari Kuiper Belt, yang sama dengan komet Hartley 2. Dengan hasil berbeda dari komet yang sama, makin mempersulit untuk menemukan asal usul air bumi. 

Tapi bagi astronom University of Maryland, Michael A'Hearn, perbedaan temuan itu tak lantas mengakhiri peluang asal-usul air di komet. Menurutnya bisa saja air bumi bisa berasal dari komet Kuiper Belt.

Sementara pendapat berbeda disampaikan Manajer Program Objek Dekat Bumi NASA, Donald Yeomans. Ia meyakini sumber air berasal dari asteroid.

Hasil analisa ini telah diterbitkan dalam Jurnal Science.

Curiosity Beri Kejutan Besar Tanda Kehidupan di Mars

Curiosity Beri Kejutan Besar Tanda Kehidupan di Mars


Kendaraan penjelajah Mars milik Badan Antariksa Nasional AS (NASA), Curiosity, mengungkap temuan yang mengejutkan di Planet Mars. Temuan itu bisa membantu menguak teka teki kehidupan di Planet Merah itu.

Curiosity menemukan adanya sampel gas metana di kawah Gale, lokasi pendaratan Curiosity, dengan tingkat metana 0,7 bagian per miliar. Gas metana merupakan salah satu faktor yang mendukung kehidupan selain air.

Temuan metana ini bukan yang pertama kali dan tingkat temuan terakhir ini menunjukkan pola fluktasi metana. 

Dalam dua bulan pengukuran terakhir, Curiosity telah menemukan tingkat metana meningkat dan menurun. Dalam 60 hari terakhir, rata-rata tingkat metana menunjukkan peningkatan 10 kali lipat. Sayangnya, gas ini dengan cepat menghilang. Penyebab lenyapnya gas ini masih belum dikuak peneliti.

Temuan tingkat metana terakhir lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Namun, temuan ini masih tinggi dibanding November tahun lalu, yang mencapai 5,5 bagian per miliar. Hanya berjarak dua pekan saja, metana diukur kembali dan ditemukan tingkat 7 bagian per miliar. 

Selanjutnya, pada pengukuran lain, beberapa pekan setelahnya, muncul 9 bagian per miliar. Dan enam pekan berselang, tingkat metana kembali anjlok ke tingkat rendah.

Lonjakan itu mengejutkan peneliti. Sebab, menurut penulis utama studi ini, Christopher Webster, ilmuwan tadinya berharap metana di Mars bisa punya masa hidup sekitar 300 tahun, jauh lebih lama dari gas yang terjebak di kawah Gale. 

Ilmuwan berspekulasi peningkatan sesaat itu bisa saja dipengaruhi oleh gas metana yang liar di sekitar Curiosity. Makanya, sangat peka di sekitar kendaraan penjelajah sebelum menghilang lagi. 

"Mengingat cara perilaku metana itu, kami yakin ini adalah lebih kecil (jumlahnya). Sumber yang lebih dekat lebih memungkinkan daripada sumber yang lebih besar serta sumber yang lebih jauh," jelas Webster dalam hasil studi yang dipublikasikan di Jurnal Science.

Kemungkinan jumlah gas metana yang sedikit dan fluktuatif itu tentu mengecewakan ilmuwan. Sebab, jika hipotesa gas metana memang benar sedikit, tentu akan melemahkan potensi kehidupan di planet ini. Namun demikian, terbatasnya temuan metana tak membuat misi pencarian tanda kehidupan berakhir. Peneliti yakin masih ada peluang lain.

Sementara ilmuwan proyek Curiosity dari California Institute of technology, AS, John Grotzinger, bertekad akan menguak teka teki temuan terbaru itu. 

"Bisakah kita belajar lebih banyak tentang kimia aktif yang menyebabkan fluktuasi jumlah metana di atmosfer? Atau mungkinkan kita memilih target bebatuan yang dapat diidentifikasi organik yang diawetkan?" kata dia. 

Sebelumnya, ilmuwan telah melihat fluktuasi tingkat metana di atmosfer Mars, dengan menggunakan pengorbit dan sarana pencarian planet. Peneliti di luar studi itu, menyebutkan data temuan baru Curiosity dapat membantu menciptakan model yang lebih baik dari atmosfer Mars. 

Dengan temuan fluktuasi itu, Webster mengatakan bisa saja peneliti nanti mempersempit sumber asal metana, tapi mungkin tugas ini tak dilakukan Curiosity. Ilmuwan, menurutnya butuh beberapa alat baru di Mars yang mampu menyelidiki atmosfer tipis Mars. 

Ia memperkirakan proses geologi mungkin yang bertanggungjawab atas rilis gas metana di Mars. 

"Ini adalah kejutan besar bagi kami. Dan dari sini lah kami akan menulis bab studi selanjutnya," jelas dia. 

Sementara studi lain yang dipublikaskan Jurnal Science juga menemukan sampel air, salah satu unsur pendukung kehidupan lain. Dengan memanfaatkan sampel tanah liat, ilmuwan telah mengukur hidrogen di atmosfer Mars sekitar 3 hingga 3,7 miliar tahun lalu.


Flag Country

free counters