Kamis, 30 Januari 2014
Lembaga riset Akamai telah mengeluarkan laporan terbarunya mengenai "State of the Internet" dunia untuk Q3-2013. Dari laporan terbaru ini, dalam hal kecepatan rata-rata Internet, posisi Indonesia melorot ke posisi 118 dunia di mana pada Q2-2013, Indonesia masih bertengger di posisi 108 dunia.
Indonesia menduduki posisi 118 tersebut karena dari kecepatan internet rata-ratanya Indonesia hanya mencapai 1,5 Mbps.
1. Gagalnya implementasi WiMax
Di Indonesia, WiMax sudah diwacanakan sejak 2005, dan empat tahun kemudian pemerintah menggelar lelang penyelenggaranya di pita 2,3 GHz. Namun, sudah lima tahun berjalan, WiMax tak kunjung jalan, dan malah terkejar teknologi yang lebih baru, LTE.
Kendala ketersediaan perangkat dan adanya aturan TKDN menjadikan teknologi Internet nirkabel pita lebar itu sudah mati.Sembilan tahun kemunculannya di Indonesia, WiMax masih juga bergeming, diam tak beringsut, dan terus terlelap dalam tidur panjangnya.
Meskipun pemerintah akhirnya menuruti kemauan komunitas dan industri dengan mengubah regulasi dari 16d ke teknologi netral atau mengarah ke 16e, namun WiMax seperti layu sebelum berkembang, sama sekali tak ada gemanya, tidak seperti awal kemunculannya pada 2005. Saat itu hampir semua pejabat pemerintah dan terutama vendor memandang WiMax merupakan telekomunikasi masa depan.
Namun kenyatannya, jumlah penggunanya saat ini tak lebih dari puluhan ribu orang saja. Bandingkan dengan teknologi GSM/EDGE/3G yang muncul pada 1993 dan operator pertama hadir pada 1994, di mana hanya dalam selang waktu 19 tahun sudah memiliki pelanggan lebih dari 240 juta orang. Fantastis!
2. LTE masih maju mundur
Tarik ulur seputar implementasi LTE lebih dikarenakan pemerintah belum juga menentukan frekuensi mana yang akan digunakan untuk LTE, atau bagaimana mekanisme implementasi teknologi seluler berkecepatan tinggi itu.
Bila implementasi LTE seperti GPRS atau EDGE, maka operator bisa langsung menggunakan frekuensi yang dimilikinya di manapun untuk LTE. Tapi, bila pemerintah leih memilih metode seperti 3G, terutama agar memberikan pemasukan ke negara, maka pemerintah harus menentukan satu frekuensi khusus LTE dan dilelangkan.
Sedangkan kandidat pita frekuensi untuk LTE pun masih belum bersih dan tertata, seperti di pita 700 MHz yang masih digunakan untuk televisi terrestrial, atau di pita 1.800 MHz yang masih juga ditata.
3. Operator hanya bangun layanan data di perkotaan
Survei Akamai adalah merupakan rata-rata akses internet di seluruh Indonesia. Jadi, meskipun di perkotaan akses internet kencang, namun hal itu tidak terjadi di kota-kota kecil atau di perdesaan yang persentase pemakaian datanya juga cukup besar.
Hal itu wajar, karena tentunya operator dan penyelenggara jasa internet lebih memandang ke aspek ekonomis dan yang lebih mendatangkan keuntungan bagi perusahaan, apalagi dengan kondisi geografis Indonesia yang berpulau-pulau menjadikan biaya pembangunan infrastruktur di daerah-daerah terpencil makin mahal.
Beberapa operator bahkan sampai mengelimnasi sejumlah BTS-nya di luar Jawa karena tidak kuat membayar biaya sewa kepada kontrator menara telekomunikasi, sehingga sinyal data pun makin berkurang.
Program universal service obligation (USO) dan penyediaan layanan internet kecamatan (PLIK) yang dicanangkan Kominfo pun belum terlihat dampaknya, bahkan di beberapa daerah malah terbengkalai.
4. Jaringan internet Indonesia belum Tier-1
Pertumbuhan internet di Indonesia memang sangat mengkilap. Pengguna internet nya saja, menurut survei Indonesia ICT Institute sudah mencapai 120 juta orang meskipun oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) diklaim baru sekitar 71,1 juta orang.
Namun, pertumbuhan yang mengkilap itu tidak dibarengi dengan pembangunan infrastruktur jaringan serat optiknya. Indonesia bahkan masih mengakses ke Singapura untuk akses Tier-1, selain HongKong sebelum ke Amerika Serikat.
Karena mahalnya koneksi setelah melewati beberapa gateway, maka satu jalur koneksi harus dibagi ke beberapa pengguna sehingga menyebabkan koneksinya menjadi lambat.
Bila Indonesia memiliki akses langsung ke Amerika Serikat, maka akses bandwidth menjadi lebih murah karena harganya bakal bersaing.
Mahalnya bandwidh dari satelit lokal juga menjadi pemicu lambatnya akses internet karena bandwidth yang dibeli tentunya tidak bisa besar
5. Tingginya pengguna data
Banyaknya pengguna data di Indonesia juga menjadi pemicu leletnya akses internet. Sekedar gambaran, Telkomsel saja memiliki pelanggan data aktif sebanyak 60 juta orang, sedangkan operator lain mungkin berkisar 20-30 juta orang.
Jumlah tersebut belum ditambah pengguna internet yang lewat PC atau laptop sehingga penggunanya bisa melebihi 120 juta orang.
Dengan pengakses yang besar, sementara kapasitas dan teknologinya masih 3G, maka wajar bila akses internet Indonesia lambat laun makin lambat, karena ibaratnya sebuah jalan tol yang lebarnya tetap harus dilalui lebih banyak kendaraan yang masuk, maka laju kendaraan pun melambat atau macet.
0 komentar:
Posting Komentar