Pengertian Media
Kata media berasal dari bahasa Latin yang adalah bentuk
jamak dari Medium, secara harfiah sebagai perantara atau pengantar dan dalam
media pendidikan yaitu media yang di gunakan sebagai alat dan bahan kegiatan pembelajaran.
Mengapa perlu media dalam pembelajaran? Pertanyaan yang
sering muncul mempertanyakan pentingnya media dalam sebuah pembelajaran. Kita
harus mengetahui dahuklu konsep abstrak dan konkrit dalam pembelajaran, karena
proses belajar mengajar hakekatnya adalah proses komunikasi, penyampaian pesan
dari pengantar ke penerima. Pesan berupa isi/ajaran yang di tuangkan kedalam
simbol-simbol komunikasi baik verbal (kata-kata dan tulsan) maupun non verbal,
proses ini di namakn encoding. Penafsiran simbol-simbol komunikasi tersebut
oleh siswa dinamakan decoding.
Klasifikasi Media
Media dapat di klasifikasikan menjadi:
- Media cetak dan non cetak
- Media elektronik dan non elektronik
- Media proyeksi dan non proyeksi
- Media audio, visual dan audio visual
Media yang sengaja di rancang (by design) dan media yang di
manfaatkan (by utillzation}
Rudy Bretz (1971) membuat kalsifikasi media atas dasar ciri
utamanya menjadi 3 unsur pokok yaitu suara, bentuk visual dan gerak.
Wilbur Schram (1977) mengklasifikasikan media berdasarkan
kompleksitas dan besarnya biaya, menjadi dua kelompok yaitu Media Besar (Big
Media) dan Meda Kecil (Little Media).
C. Mengapa
Menggunakan Media Kecil?
Dari keanekaragaman jenis dan kemampuan media komunikasi,
yang menjadi pokok perhatian utama dalam pemanfaatan media untuk komunikasi,
adalah sejauhmana media yang bersangkutan medukung tujuan komunikasi? Secara
umum, media komunikasi membantu dalam menambah minat, variasi, dan dampak,
serta pesan yang disajikan cenderung lebih lama melekat dalam memori khalayak.
Misalnya dikemukakan oleh Cothran dalam Curtis, dkk. (1996) bahwa, media visual
meningkatkan pemahaman sampai 200% dalam pengajaran kelompok, meningkatkan daya
ingat anggota pseserta belajar sekitar 14-38%, dan efisiensi waktu yang
diperlukan sampai 40% untuk menjelaskan konsep tunggal dalam presentasi bisnis.
Beberapa hasil penelitian tentang kemampuan media yang
dikumpulkan oleh Schramm (1984), memberikan bukti-bukti bahwa:
- Kombinasi media audio visual memberikan hasil yang jauh lebih besar dalam mempengaruhi khalayak.
- Penggunaan gambar hidup memberikan hasil 26% lebih tinggi dalam tes mengenai materi yang disajikan, khalayak yang belajar hanya lewat peta, model, gambar, dan karya wisata.
- Presentasi dengan menggunakan kombinasi pengajaran berprog- ram, film bicara, tape slide, dan tape latihan (multi media), memberikan hasil belajar yang signifikan dari pada belajar lewat bantuan seorang guru.
1. Meningkatkan pengertian atau pemahaman terhadap suatu
topik
Pemanfaatan media visual akan mempermudah pengertian dan
pemahaman sertamenghemat penggunaan kata-kata verbal, karena khalayak sendiri
yang akan menginterpre- tasikan makna gambar yang disajikan. Di samping itu,
seperti dikemukakan oleh Anderson dalam Curtis, dkk. (1966) bahwa, “suatu
kombinasi presentasi yang menggunakan kemampuan bicara dan penayangan gambar
berdampak lebih besar terhadap topik yang kompleks pesan yang diucapkan
sendiri.”
2. Meningkatkan daya tarik bagi khalayak
Alasan yang paling penting dalam penggunaan media presentasi
adalah menarik perhatian khalayak. Faktor-faktor yang dapat menumbuhkan
perhatian khalayak dari media komunikasi adalah; tingkat kecanggihan media,
kualitas yang disajikan, warna yang digunakan, bentuk unik dari suatu obyek
yang dihadirkan, realitas obyek yang ditampilkan, penggunaan bunyi atau suara
(sound effect), dan kombinasi bentuk dan ukuran objek yang ditampilkan.
3. Mengajarkan keahlian lebih efektif
Rangkaian atau proses untuk mengajarkan keterampilan lebih
mudah dijelaskan apabila menggunakan media daripada sekedar kata-kata. Seperti,
gambar berseri pada kemasan barang elektronik yang menerangkan langkah-langkah
perakitan, kemasan bergambar pada obat-obatan yang menerangkan cara dan dosis
yang harus digunakan, dan kotak bergambar yang menerangkan cara mengoperasikan
mainan anak-anak. Gambar-gambar dengan putaran arah jarum jam pada kemasan
tersebut, akan memudahkan para pembeli atau pengguna.
4. Merangsang khalayak untuk bertindak
Visualisasi motto, jargon, dan yel-yel yang mengajak orang
untuk berprilaku, akan lebih merangsang orang yang melihat dan mendengarnya.
Bahkan kecenderungan untuk menirukan atau mengikuti cenderung lebih besar
terjadi. Misalnya yel-yel, Hidup Bintang! dengan menggambarkan acungan satu
jari, kemudian Hidup Golkar! dengan menggambarkan acungan dua jari, dan Hidup
Banteng! dengan tiga jarinya, akan mendorong orang untuk mengikuti dan
menirunya.
5. Menumbuhkan sikap yang diinginkan terhadap materi yang
dibicarakan
Sikap positif lebih mudah terjadi dengan dukungan penggunaan
media, misalnya dalam pelayanan iklan komersial para perancang komunikasi
cenderung memilih media massa tertentu untuk menjual produknya kepada masyarakat.
Melalui pemanfaatan siaran televisi, pemilik produk dapat mempromosikan
produknya dengan keunggulan televisi media yang lain. Televisi lebih mampu
memvisualisasikan gagasan para perancang iklan dalam membentuk citra produk
yang ditawarkan, dan mengajak khalayak untuk menggunakan produk tersebut.
6. Memperpanjang waktu penyimpanan informasi
Anderson dalam Curtis dkk. (1966), menyatakan bahwa para
penyimak akan mengingat isi presentasi lebih lama bila presentasi tersbut
menggunakan gambar. Faktor yang mendukung dalam mengingat sebuah informasi
adalah, penyajian informasi dengan dukungan visual dan auditory, sebab hal itu
akan menyempurnakan kata-kata yang disampaikan.
7. Memberikan perolehan pengalaman yang tidak mudah melalui
berbagai cara
Gagasan yang kompleks akan lebih sulit diterima atau
disimak. Hal ini berkaitan dengan tingkat abstraksi gagasan. Tetapi apabila
dijelaskan dengan visualisasi, maka tingkat abstraksi tersebut dapat diturunkan
atau direndahkan sehingga mendekati realitas yang sebenarnya.
Media masa
Media massa telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses
komunikasi massa dewasa ini bahkan ketergantungan manusia pada media massa
sudah sedemikian besar. Media komunikasi massa abad ini yang tengah digandrungi
masyarakat adalah televisi.
Di Indonesia berdasarkan survey Ac Nielsen di tahun 1999
bahwa 61% sampai 91% masyarakat Indonesia suka menonton televisi, hasil ini
lebih lanjut dijelaskan bahwa “hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar
menonton televisi setiap hari dari 4 dari 10 orang mendengarkan radio” ( Media
Indonesia, 16- Nopember 1999). Hal ini menunjukkan bahwa menonton televisi
merupakan “aktivitas” utama masyarakat yang seakan tak bisa ditinggalkan.
Realitas ini sebuah bukti bahwa televisi mempunyai kekuatan menghipnotis
pemirsa, sehingga seolah-olah televisi telah mengalienasi seseorang dalam
agenda settingnya.
Namun realitasnya, yang terjadi adalah stasiun-stasiun TV di
Indonesia terjebak pada selera pasar karena tema acara yang disajikan hampir
semua saluran TV tidak lagi beragam tetapi seragam di mana informasi yang
sampai kepada publik hanya itu-itu saja tidak menyediakan banyak alternatif
pilihan. Beberapa format acara TV yang sukses
di satu stasiun TV acapkali diikuti oleh TV-TV lainnya, hal ini terjadi
hampir pada seluruh format acara TV baik itu berita kriminal dan bedah kasus,
tayangan misteri, dangdut, film india,
telenovela, serial drama Asia, Infotainment, dan lain-lain.
1. Kerangka Teoritis
Louis O. Katsoff dalam bukunya ”Elements of Philosophy”
menyatakan bahwa kegiatan filsafat
merupakan perenungan, yaitu suatu jenis pemikiran yang meliputi kegiatan
meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang
satu dengan gagasan yang lainnya, menanyakan ”mengapa”’ mencari jawaban yang lebih
baik ketimbang jawaban pada pandangan mata. Filsafat sebagai perenungan
mengusahakan kejelasan, keutuhan, dan keadaan memadainya pengetahuan agar dapat
diperoleh pemahaman. Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia
sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini. Menemukan
hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang
sistematik. Filsafat membawa kita kepada pemahaman & pemahaman membawa kita
kepada tindakan yang lebih layak. Tiga bidang kajian filsafat ilmu adalah
epistemologis, ontologis, dan oksiologis. Ketiga bidang filsafat ini merupakan
pilar utama bangunan filsafat.
Epistemologi: merupakan cabang filsafat yang menyelidiki
asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan
kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi pada
dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang
diperoleh dalam prosesnya menggunakan
metode ilmiah. Medode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan
perencanaan yang matang & mapan, sistematis & logis.
Ontologi: adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau
lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu
pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial.
Menurut Stephen Litle John, ontologi
adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang
realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.
Aksiologis: adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan
nilai seperti etika, estetika, atau agama. Litle John menyebutkan bahwa
aksiologis, merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (nilai-nilai)
Litle John mengistilahkan kajian menelusuri tiga asumsi dasar teori ini adalah
dengan nama metatori. Metatori adalah bahan spesifik pelbagai teori seperti
tentang apa yang diobservasi, bagaimana observasi dilakukan dan apa bentuk
teorinya. ”Metatori adalah teori tentang teori” pelbagai kajian metatori yang
berkembang sejak 1970 –an mengajukan berbagai metode dan teori, berdasarkan
perkembangan paradigma sosial. Membahas hal-hal seperti bagaimana sebuah
knowledge itu (epistemologi) berkembang. Sampai sejauh manakah eksistensinya
(ontologi) perkembangannya dan bagaimanakah kegunaan nilai-nilainya (aksiologis)
bagi kehidupan sosial. Pembahasan ; Berita infotainment dalam kajian filosofis.
Kajian ini akan meneropong lingkup persoalan di dalam disiplin jurnalisme,
sebagai sebuah bahasan dari keilmuan komunikasi, yang telah mengalami degradasi
bias tertentu dari sisi epistemologis, ontologis bahkan aksiologisnya terutama
dalam penyajian berita infotainment di televisi.
2. Kajian Aspek
Epistemologis:
Dalam berita hal terpenting adalah fakta. Pada titik yang
paling inti dalam setiap pesannya pelaporan jurnalisme mesti membawa muatan
fakta. Setiap kepingan informasi mengimplikasikan realitas peristiwa
kemasyatakatan. Tiap pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran
subyektif yang tak berkaitan dengan kepentingan–kepentingan kebutuhan
masyarakat. Charnley (1965 : 22.30) mengungkapkan kunci standardisasi bahasa
penulisan yang memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa,
yaitu akurat, seimbang, obyektif, jelas dan singkat serta mengandung waktu
kekinian. Hal-hal ini merupakan tolok ukur dari ”The Quality of News” dan
menjadi pedoman yang mengondisikan kerja wartawan di dalam mendekati peristiwa
berita & membantu upaya tatkala mengumpulkan & mereportase berita.
Secara epistemologis cara-cara memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan
filosofis sebuah berita infotainment yang akan ditampilkan berdasarkan
perencanaan yang matang, mapan, sistematis & logis.
3. Kajian Aspek
Ontologis
Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara
ontologis tertuju pada keberadaan berita infotainment dalam ruang publik.
Fenomena tentang berita infotainment bukan gejala baru di dunia jurnalisme.
Pada abad 19, pernah berkembang jurnalisme yang berusaha mendapatkan audiensnya
dengan mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks,
hal-hal, yang menegangkan dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan reputasi
James Callender lewat pembeberan petualangan seks, para pendiri Amerika
Serikat, Alexande Hamilton & Thomas Jeferson merupakan karya elaborasi
antara fakta dan desus-desus. Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William
Rudolf Hearst dan Joseph Pulitzer yang dianggap sebagai dewa-dewa ”Jurnalisme
kuning.”
Fenomena
jurnalisme infotainment kembali mencuat ketika terjadi berita hebohnya
perselingkuhan Presiden Amerika ”Bill Clinton- Lewinsky”. Sejak saat itu seakan
telah menjadi karakteristik pada banyak jaringan TV di dunia. Di Indonesia,
fenomena ini juga bukan terbilang baru. Sejak zaman Harmoko (Menteri Penerangan pada saat itu)
banyak surat kabar–surat kabar kuning muncul & diwarnai dengan antusias
masyarakat. Bahkan ketika Arswendo Atmowiloto menerbitkan Monitor semakin
membuat semarak ”Jurnalisme kuning di Indonesia”. Pasca Orde Baru ketika
kebebasan pers dibuka lebar-lebar semakin banyak media baru bermunculan, ada
yang memiliki kualitas tetapi ada juga yang mengabaikan kualitas dengan
mengandalkan sensasional, gosip, skandal dan lain-lain. Ketika tayangan Cek
& Ricek dan Kabar Kabari berhasil di RCTI, TV lainnya juga ikut-ikut
menayangkan acara gosip. Dari sinilah cikal bakal infotainment marak di TV
kita. Fenomena infotainment merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan dari
dunia jurnalisme kita. Pada realitasnya ini banyak disukai oleh masyarakat
dengan bukti rating tinggi (public share tinggi)
4. Kajian pada aspek
aksiologis
Secara aksiologis kegunaan berita infotainment dititik
beratkan kepada hiburan. Pengelola acara ini menarik audiens hanya dengan
menyajikan tontonan yang enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis
jurnalisme. Hal ini akan berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah
orang terhadap sesuatu yang lain. Ketika etika infotainment telah salah langkah
mencoba untuk ”menyaingkan” antara berita & hiburan. Padahal nilai dan daya
pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang
dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi.
Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak
lagi mempertimbangkan moral sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu
mengabaikan kepentingan masyarakat.Hal itulah yang terjadi dengan berita
infotainment di Indonesia, beberapa kaidah yang semestinya dijalankan malah
diabaikan demi kepentingan mengejar rating dan meraup keuntungan dari pemasang
iklan.
DAFTAR PUSTAKA
The Little Media
Keunggulan Media Kecil untuk Mendorong Sikap Kelompok « Atwar Bajari’s
Blog.htm
ffendy., Onong Uchjana, 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat
Komunikasi, Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Andersen., Kenneth E., 1972, Introduction to Communication
Theory and Practice, Philippines: Cumming Publ Company.
http://hermanbudi-gang9.blogspot.com/p/media-besar-dan-media-kecil_18.html
0 komentar:
Posting Komentar