Teleskop Masa Depan Bisa Lihat Seluruh Semesta



Para ilmuwan percaya jika dalam beberapa dekade ke depan, mereka bisa melihat seluruh isi alam semesta. Hal ini dikarenakan teknologi yang semakin canggih.

Teleskop beberapa generasi ke depan akan semakin handal dan mumpuni. Bahkan dimungkinkan untuk melihat segala sesuatunya yang ada di jagad raya.

"Teleskop masa depan mampu mensurvei apa saja yang ada di langit dan di atasnya, dari berbagai arah pandangan, dan bisa memprediksi sejak dimulainya suatu kehidupan," ujar Prof. Tamara Davis, astrofisikawan dari University of Queensland, seperti dikutip Phys.org, Jumat 5 Desember 2014.

Sayangnya, menurut Davis, penglihatan teleskop akan sedikit terhalang oleh lebarnya langit kosmik, sebuah batasan fisik terhadap apa yang bisa kita lihat. Ini akan menjadi penghalang, bukan dikarenakan keterbatasan perangkat yang dimiliki.

"Untuk pertama kalinya, pengetahuan kita akan dibatasi oleh fisik dari semesta itu sendiri, ketimbang kemampuan perangkat yang kita punya," ujarnya.

Namun begitu, lanjut dia, meski para astronom mampu melihat apa saja yang terjadi, itu tidak berarti mereka telah memahami apa yang telah mereka temukan. 

"Contohnya, kita bisa melihat pembentukan galaksi tapi belum bisa dipahami apa hukum fisika yang sampai bisa membuat itu terjadi," paparnya.

Davis sendiri saat ini sedang memegang dua proyek besar alam semesta. Pertama adalah penelitian tentang materi gelap (sesuatu yang membuat galaksi bisa terikat satu sama lain), dan energi gelap (sesuatu yang membuat ekspansi semesta menjadi lebih cepat).

Davis adalah ilmuwan yang cukup aktif. Ia masuk dalam jajaran teratas ilmuwan aktif yang hanya sekitar satu persen dari total ilmuwan yang ada di dunia. Dia memiliki 60 publikasi dan dua paper yang telah dipublikasi di Nature, berikut 10 paper lainnya.

Stephen Hawking: Partikel Tuhan Bisa Hancurkan Semesta



Fisikawan kondang dunia, Stephen Hawking, memperingatkan potensi buruk Partikel Tuhan yang ditemukan pada 2012 lalu.

Hawking mengatakan partikel itu memimiliki kekuatan yang mampu menghancurkan alam semesta. Hal itu disampaikan Hawking dalam komentar di buku Starmus: 50 years of Man in Space, sebuah koleksi esai para ilmuwan dan astronom.

Melansir IB Times, Senin 8 September 2014, menurut fisikawan Universitas Oxford itu, pada tingkat energi yang sangat tinggi, Partikel Tuhan bisa menjadi tak stabil dan menyebabkan 'bencana dan kerusakan yang memusnahkan' antariksa dan waktu, alias alam semesta.

"Potensi Higgs (Partikel Tuhan) memiliki fitur mengkhawatirkan yang mungkin menjadi sangat stabil pada energi di atas 100 miliar giga elektron volt (GeV)," tulis Hawking dalam buku itu.

Dengan perkiraaan potensi energi dahsyat itu, menurutnya alam semesta bisa mengalami bencana kemusnahan secara sangat cepat.

"Ini berarti alam semesta bisa menjalani peluruhan bencana kemusnahan, yang terjadi kapan saja dan kami tidak melihatnya itu akan datang," tambahnya.

Ia meramalkan bencana yang dimaksud itu tak mungkin terjadi dalam waktu dekat. Sebab, energi dahsyat itu belum bisa terpenuhi dalam waktu dekat ini.

"Sebuah akselerator partikel yang mencapai energi 100 miliar GeV akan lebih besar dari Bumi, dan itu tidak akan dipasok oleh iklim ekonomi saat ini," jelas Hawking.

Kendati menyampaikan potensi Partikel Tuhan memberikan bencana mengerikan, Hawking melanjutkan, pengetahuan tentang partikel itu bisa memberikan wawasan penting. Sebab, partikel itu menempatkan hambatan penting pada evolusi alam semesta.

Partikel Tuhan ditemukan ilmuwan pada fasilitas Large Hadron Collider (LHC) di CERN, Swiss pada 2012 lalu. Ilmuwan menggunakan akselerator partikel untuk bisa melihat partikel kecil yang terpisah dalam skenario tabrakan.

Temuan partikel usai tabrakan itu cocok dengan prediksi ilmuwan Inggirs, Peter Higgs pada 1960-an. Partikel Tuhan diyakini berkontribusi memberikan materi pada massa, tapi ilmuwan belum memahani peran partikel itu.

Alamat Bumi di Alam Semesta Kian Lengkap



Rumah besar Galaksi Bimasakti, yaitu Supergugus Galaksi Laniakea, berhasil didefinisikan awal September lalu. Temuan itu membuat posisi Bumi di jagat raya semakin jelas. Meski demikian, supergugus galaksi yang diperkirakan memiliki 100.000 galaksi dan terbentang sejauh 520 juta tahun cahaya itu tetaplah secuil bagian dari alam semesta.

Struktur Laniakea berhasil didefinisikan peneliti Institut Astronomi, Universitas Hawaii, Amerika Serikat, R Brent Tully dan rekan, setelah mengamati gerak lebih dari 8.000 galaksi. Hasilnya, Bimasakti hanya satu titik di pinggiran Laniakea yang berkumpul bersama grup dan gugus galaksi lain serta bergerak bersama menuju ”Great Attractor”, sang penarik besar, yaitu kawasan dengan tarikan gravitasi masif di arah Gugus Galaksi Centaurus.

”Struktur Laniakea yang didefinisikan berdasarkan kecepatan gerak galaksi, bukan hanya distribusi atau jaraknya, adalah metode baru pendefinisian struktur skala besar alam semesta,” kata Tully, Rabu (3/9/2014).

Alamat kosmik

Meski batas Laniakea belum jelas sepenuhnya, mantan peneliti pada Institut Astronomi Max-Planck Heidelberg, Jerman, Dading Nugroho, Selasa (16/9/2014), mengatakan, keberhasilan pemodelan Laniakea membuat manusia makin mengenali ”rumahnya” di semesta.

Seandainya manusia bisa melakukan perjalanan antargalaksi atau bisa berkomunikasi dengan kehidupan cerdas di luar Bimasakti, manusia dapat menyebut alamatnya lebih rinci, yaitu Bumi, Tata Surya, Bimasakti, Grup Galaksi Lokal, Gugus Galaksi Virgo, dan terakhir Supergugus Galaksi Laniakea.

Sama seperti alamat rumah kita, setiap keterangan tempat berikutnya tentu memiliki batas wilayah, populasi, dan tetangga di sekitarnya. Marilah kita tengok wilayah dan tetangga kosmik kita satu per satu.

Sebagai anggota Tata Surya, Bumi memiliki tujuh planet tetangga, beberapa planet katai, ratusan satelit planet, ratusan ribu asteroid, dan ribuan komet. Anggota Tata Surya yang belum diketahui jauh lebih banyak lagi. Batas akhir pengaruh Matahari yang menandai tepi Tata Surya berjarak 1,87 tahun cahaya dari sang bintang induk.

Satu tahun cahaya adalah waktu yang dibutuhkan cahaya untuk bergerak dengan kecepatan 300.000 kilometer per detik. Itu berarti satu tahun cahaya setara dengan 9,5 triliun kilometer.

Bintang terdekat Matahari adalah Proxima Centauri, bintang katai merah yang berjarak 4,24 tahun cahaya dari Matahari. Proxima Centauri adalah bagian dari sistem bintang triple yang kita kenal sebagai sistem bintang Alfa Centauri.

Matahari dan Alfa Centauri adalah bagian Galaksi Bimasakti yang beranggotakan 400 miliar bintang berbagai ukuran dan terbentang sejauh 120.000 tahun cahaya. Matahari ada pada salah satu lengan Bimasakti dan berjarak 27.000 tahun cahaya dari inti Bimasakti, yaitu Lubang Hitam Sagitarius A.

Bimasakti anggota Grup Galaksi Lokal yang terbentang 10 juta tahun cahaya. Selain Bimasakti, grup ini juga punya dua galaksi utama lain, yaitu Andromeda dan Triangulum. Grup juga berisikan puluhan satelit galaksi dan puluhan galaksi katai.

Bagian lebih besar dari Grup Galaksi Lokal adalah Gugus Galaksi Virgo yang beranggotakan 1.200-2.000 galaksi. Ia terbentang sejauh 15 juta tahun cahaya. Nama Virgo diberikan karena gugus ini jika dilihat dari Bumi berada di arah rasi Virgo.

Selanjutnya, Gugus Galaksi Virgo adalah bagian Supergugus Galaksi Laniakea. Sebelumnya, ia anggota Supergugus Galaksi Virgo beranggota 47.000 galaksi berdiameter 110 tahun cahaya.

Keberhasilan penentuan struktur Laniakea membuat Supergugus Galaksi Virgo hanya jadi bagian Laniakea. Demikian pula Supergugus Galaksi Norma-Hydra, Centaurus, dan Pavo-Indus yang kini semuanya jadi bagian Laniakea.

”Pemahaman manusia tentang supergugus galaksi terus berkembang,” ujar Dading.

Berdasarkan definisi baru supergugus galaksi, tetangga Laniakea antara lain Supergugus Galaksi Shapley, Coma, dan Perseus-Pisces. Berbagai supergugus galaksi itulah struktur terbesar di alam semesta yang diketahui. Potensi untuk menemukan struktur yang lebih besar disadari Tully sangat besar, khususnya jika faktor lain yang memengaruhi gerak galaksi diperhitungkan.

Dading menambahkan, secara teoretis, manusia seharusnya bisa melihat bagian lain semesta yang terbentang hingga 14,7 miliar tahun cahaya. Untuk itu, meski Laniakea adalah struktur terbesar yang diketahui di semesta, ia tetap hanya bagian kecil dari alam semesta.

Inilah Foto Alam Semesta Paling Berwarna, Memuat 10.000 Galaksi




Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) merilis citra terbaru alam semesta. Citra itu adalah gambaran alam semesta yang paling berwarna.

Citra dihasilkan dari paduan foto yang diambil dengan Advanced Camera for Survey dan Wide Field Camera 3 pada teleskop antariksa Hubble pada tahun 2003 dan 2012.

Panorama alam semesta ini adalah yang pertama kali memanfaatkan sinar ultraviolet dalam pencitraannya, selain cahaya tampak dan inframerah.

Hasil "jahitan" dari 800 foto tersebut menunjukkan 10.000 galaksi di alam semesta, dari yang muda hingga yang usianya mendekati Big Bang (13 miliar tahun).

Pemanfaatan sinar UV dalam citra ini penting. Hingga kini, astronom belum punya banyak data tentang alam semesta pada masa 5-10 miliar tahun lalu, saat banyak bintang terbentuk.

Harry Teplitz dari California Institute of Technology, seperti dikutip Gizmodo, Selasa (3/6/2014), mengatakan, "Penambahan sinar ultraviolet mengisi gap itu.

Ada Planet Godzilla di Alam Semesta




Ada kelas baru planet di alam semesta yang disebut "Mega-Bumi". 

Planet yang masuk dalam kelas itu merupakan planet batuan seperti Bumi, tetapi memiliki ukuran yang jauh lebih besar, lebih besar dari kelas planet "Bumi Super".

Kelas planet ini dibuat untuk menampung adanya planet batuan baru yang massanya mencapai 17 kali Bumi.

Planet baru yang ditemukan itu bernama Kepler 10c. Dunia superbesar tersebut mengorbit sebuah bintang yang jaraknya 560 tahun cahaya dari Bumi.

Penemuannya dipresentasikan pada pertemuan American Astronomical Society di Boston.

Astronom mengatakan, planet ini membuat mereka menggaruk kepala. Selama ini, para astronom beranggapan bahwa planet besar cenderung menarik banyak hidrogen sehingga akan lebih mirip Jupiter dan Neptunus.

"Cara yang tepat untuk menyebutnya adalah sesuatu yang lebih besar dari 'Bumi Super', jadi bagaimana dengan 'Bumi Mega'?" kata Dimitar Sasselov dari Harvard Smithsonian Center for Astrophysics seperti dikutip BBC, Selasa (3/6/2014).

Selain menyebut Bumi Mega, Sasselov juga menyebut planet itu sebagai "Godzilla Bumi".

Astronom menemukan Kepler 10-c dengan menggunakan teleskop Kepler. Mereka menggunakan metode transit, yakni melihat keberadaan planet dengan mengamati peredupan cahaya bintang.

Pada awalnya, dengan metode tersebut, astronom mengetahui bahwa diameter Kepler 10-c adalah 29.000 kilometer.

Langkah selanjutnya, astronom menggunakan instrumen Harps North di Telescope Nazionale Galileo di Canary Islands.

Di sana, astronom mengukur gaya tarik antar-Kepler 10-c dengan bintang induknya hingga akhirnya mengetahui massanya.

"Massanya 17, atau tepatnya, lebih dari 17 kali massa Bumi, dan dengan demikian massa jenisnya 7,5 gram per sentimeter kubik, membuatnya menyerupai massa jenis batuan di Bumi (5,5 gram per sentimeter kubik)," kata Sasselov.

Dengan massa jenis yang lebih tinggi, Sasselov mengatakan bahwa planet ini tak berarti memiliki komposisi yang berbeda dengan Bumi. Hanya, planet ini lebih mampat. Persentase air paling besar adalah 5-15 persen.

Yang menarik, usia bintang induk planet tersebut 11 miliar tahun, hanya selisih 2 miliar tahun dari alam semesta sendiri.

"Kepler 10-c mengatakan kepada kita bahwa planet batuan bisa terbentuk jauh lebih awal dari yang kita duga. Dan kalau Anda bisa membuat dunia batuan, Anda bisa memiliki kehidupan," ucap Sasselov. 


Kapan Alam Semesta Mencapai Titik Terpanas?




Suhu alam semesta tak selalu sama sepanjang waktu. Pada permulaannya, suhu alam semesta meningkat perlahan hingga pada satu waktu mengalami hal sebaliknya, mendingin.

Sejak lama, astronom bertanya-tanya, kapan suhu alam semesta mencapai puncaknya? Kapan pendinginan dimulai?

Riset terbaru ilmuwan dari Swinburne University of Technology mengungkap bahwa suhu semesta mencapai puncaknya 11 miliar tahun lalu. Saat itu, suhunya mencapai 13.000 derajat celsius.

Ilmuwan mengungkap suhu awal alam semesta (3-4 miliar tahun setelah terbentuk) dengan mempelajari gas-gas yang ada di medium antar-galaksi.

Pada masa-masa awalnya, semesta memanas karena galaksi-galaksi mulai lahir dan memanaskan lingkungan sekitarnya.

"Namun, 11 miliar tahun lalu, 'demam' ini sirna dan semesta mulai mendingin lagi," kata Elisa Boera, mahasiswa Swinburne Center for Astrophysics and Supercomputing.

"Medium antar-galaksi adalah perekam sejarah semesta yang baik, menyimpan memori peristiwa besar, seperti suhu, komposisi, dan perbedaannya selama evolusi semesta," imbuh Boera.

Sementara itu, Boera juga mengoleksi cahaya paling biru yang ditransmisikan oleh atmosfer Bumi, sinar ultraviolet dari 60 kuasar.

Sinar ultraviolet itu berasal dari perkembangan alam semesta selanjutnya. Dengan demikian, ilmuwan bisa mengetahui suhu alam semesta pada perkembangan selanjutnya.

"Sinar itu menunjukkan bahwa semesta mendingin sekitar 1.000 derajat celsius dalam 1 miliar tahun setelah mencapai titik tertinggi 13.000 tahun lalu," kata Boera.

Dikutip dari NDTV, Minggu (25/5/2014), Boera mengungkapkan bahwa pendinginan itu terus berlangsung sampai sekarang.

Apa sebab pemanasan dan pendinginan? Michael Murphy dari Swisburne University yang juga terlibat riset mengatakan, "Kami pikir jawabannya adalah helium."

Murphy mengatakan, 14 persen dari gas antar-galaksi adalah helium. Dan, pada 12 miliar tahun lalu, gas itu menyerap radiasi dari galaksi, kehilangan elektron dalam prosesnya.

Elektron itulah yang kemudian memanaskan gas, persis seperti bagaimana karbon dioksida membuat Bumi semakin panas. 

Dalam prosesnya, hidrogen terus terionisasi. Semesta juga terus mengembang. Alhasil, semesta pun mendingin.


Studi: Alam Semesta Dapat Hancur Kapan Saja



Fase kehancuran tersebut, meski tidak dapat diprediksi kapan terjadinya, dapat dimulai di titik manapun di alam semesta dan kemudian menyebar ke seluruh semesta.


Alam semesta yang kita diami ternyata memiliki risiko lebih besar untuk hancur dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya, menurut para ahli fisika di Denmark.

Para ilmuwan tersebut tidak dapat memprediksi waktu yang tepat kapan hal itu akan terjadi – bisa besok atau miliaran tahun dari sekarang.

Menulis dalam Journal of High Energy Physics, para ahli fisika dari University of Southern Denmark mengatakan perhitungan baru membawa mereka ke spekulasi bahwa akan ada perubahan tiba-tiba dan drastis dalam daya-daya di alam semesta suatu hari nanti yang akan membuat setiap atom menjadi sangat berat.

Semuanya, mulai dari butiran tanah sampai planet-planet di tata surya dan setiap galaksi yang ada di alam semesta, akan tiba-tiba menjadi miliaran kali lebih berat dibandingkan sekarang.

Teori Ledakan Kuat (Big Bang) mengatakan alam semesta berekspansi dari kondisi yang sangat padat dan panas dan terus berekspansi sekarang.

Teori tersebut menyatakan bahwa peningkatan berat yang tiba-tiba akan memaksa semua materi dalam alam semesta terkompresi menjadi “bola kecil yang sangat berat dan panas” yang akan menyebabkan akhir alam semesta – kondisi yang disebut transisi fase.

“Banyak teori dan perhitungan yang memprediksi fase tersebut, namun ada ketidakpastian dalam perhitungan-perhitungan tersebut,” ujar Jens Frederik Colding Krog dari University of Southern Denmark, salah satu peneliti tersebut.

“Sekarang kami telah membuat kalkulasi-kalkulasi yang lebih presisi, dan kami melihat dua hal. Pertama, alam semesta kemungkinan akan hancur, dan kehancuran itu memiliki kemungkinan lebih besar dibandingkan yang diprediksi perhitungan-perhitungan sebelumnya.”

Ia mengatakan fase tersebut dapat dimulai di titik manapun di alam semesta dan kemudian menyebar ke seluruh semesta.

“Mungkin kehancuran itu sudah dimulai di suatu titik dan saat ini sedang menyebar. Atau mungkin hal ini akan dimulai jauh dari sini dalam semiliar tahun. Kami tidak tahu.”

Syarat terjadinya fase tersebut, menurut para ilmuwan, adalah bahwa alam semesta mengandung semua partikel fundamental yang diketahui, termasuk Higgs boson.

Namun jika alam semesta juga mengandung partikel-partikel yang belum ditemukan, seluruh ide untuk memprediksi perubahan tersebut hilang.

“Jika itu terjadi kehancuran dapat dibatalkan,” ujar Krog. 


Ditemukan, Asteroid Bercincin Pertama di Alam Semesta





KOMPAS.com — Planet bercincin? Itu tidak mengherankan. Namun, adakah benda langit yang lebih mungil dan bercincin, misalnya asteroid?

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa benda macam itu ada. Astronom menemukan asteroid bercincin pertama di alam semesta.

Felipe Braga-Ribas melakukan observasi pada Chariklo, benda langit yang mengelilingi Matahari di antara orbit Saturnus dan Uranus, di Observatorio Nacional, Rio de Janeiro.

Chariklo adalah obyek yang dikenal dengan istilah centaur, obyek di antara orbit Yupiter dan Uranus, yang memiliki orbit tidak stabil. Centaur bisa berupa komet ataupun asteroid.

Observasi dilakukan pada 3 Juni 2013, memanfaatkan peristiwa okultasi, yang dalam hal ini, Chariklo melintasi muka sebuah bintang yang letaknya nun jauh di luar angkasa.

Saat Chariklo melintas, cahaya bintang tersebut meredup, memungkinkan astronom mengobservasi Chariklo secara lebih detail.

Menggunakan tujuh teleskop, astronom awalnya hendak mengobservasi lagi bentuk dan ukuran Chariklo dengan mengukur lamanya bintang meredup ketika okultasi terjadi.

Braga-Ribas menjumpai pola peredupan bintang yang aneh. Ia semula menduga bahwa pola itu disebabkan oleh adanya gas yang dilepaskan oleh Chariklo.

Namun, akhirnya ia sadar bahwa keanehan itu bukan terjadi karena gas, melainkan karena adanya dua cincin yang mengelilingi obyek berdiameter 250 km tersebut.

"Ini sangat mengejutkan," kata Braga-Ribas seperti dikutipNational Geographic, Rabu (26/3/2014).

Dua cincin itu memiliki lebar masing-masing 7 dan 3 kilometer. Keduanya dipisahkan sejauh 9 kilometer.

Braga-Ribas dan timnya menamai cincin itu Oiapoque dan Chiu, berdasarkan nama sungai di utara dan selatan Brasil.

Adanya struktur cincin menjelaskan fenomena aneh pada Chariklo yang dijumpai pada tahun 1997 hingga 2008. Obyek itu meredup, dan tanda-tanda adanya air dalam bentuk es menghilang.

Braga-Ribas menjelaskan, saat itu struktur cincin Chariklo sedang tidak tampak oleh pandangan manusia di Bumi. 

Ketika struktur cincin tampak dari sudut pandang manusia di Bumi, Chariklo akan kembali tampak terang, dan tanda-tanda adanya air akan kembali terobservasi.

Struktur cincin memang telah ditemukan. Namun, asal-usulnya masih misterius. Ilmuwan masih hanya bisa menduga.

Menurut ilmuwan, salah satu kemungkinan asal-usul itu adalah adanya tabrakan antara Chariklo dan obyek lainnya pada masa lalu.

Tabrakan menghasilkan debris yang lama-kelamaan membentuk struktur cincin, yang kini mengelilingi Chariklo.

Ilmuwan Mengungkap Waktu "Kelahiran" Bulan di Alam Semesta





KOMPAS.com - Kapan Bulan lahir di alam semesta? Pertanyaan sederhana, tetapi sulit untuk menjawabnya.

Beberapa upaya untuk mengetahui waktu kelahiran Bulan telah dilakukan, diantaranya dengan memerkirakan waktu sebuah benda seukuran Mars menumbuk Bumi.

Bulan terbentuk saat benda sebesar Mars menumbuk Bumi. Debris dari benda langit tersebut mengumpul dan membentuk Bulan.

Diprediksi, Bulan lahir antara 30 juta tahun setelah Tata Surya (4,5 miliar tahun lalu) hingga 100 juta tahun setelah Bimasakti (13,6 miliar tahun lalu).

Dengan mengkonstruksi "jam geologi", Seth Jacobson dari Observatoire de la Cote Azur di Nice, Perancis, berhasil mengungkap waktu kelahiran Bulan dengan lebih pasti.

Jacobson menentukan umur Bulan dengan pengukuran umur interior Bumi dipadu dengan simulasi komputer tentang proses pembentukan planet di Tata Surya.

Diuraikan situs IFLScience.com, Jumat (4/4/2014), Jacobson membuat simulasi pembentukan planet terestrial Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars dari protoplanet yang mengorbit Matahari.

Dengan menganalisis 259 simulasi yang dibuat, Jacobson menemukan relasi antara waktu Bumi ditumbuk dengan material yang ditambahkan pada Bumi dalam peristiwa itu.

Material yang ditambahkan pada Bumi berasal dari obyek yang menumbuk Bumi. Saat obyek menumbuk, permukaan Bumi meleleh.

Unsur besi di permukaan Bumi kemudian "tenggelam", membawa unsur siderophile atau yang cenderung berikatan dengan besi, seperti platinum dan iridium.

Berdasarkan analisis Jacobson, Bulan terbentuk antara 63 juta hingga 127 juta setelah pembentukan Tata Surya.

Dengan demikian, umur Bulan menurut analisis Jacobson lebih muda dari umur menurut analisis dengan uranium.

Riset Javobson juga menandai adanya "jam geologi" pertama tentang pembentukan planet di Tata Surya, sekaligus penanggalan Bulan yang tak tergantung pada analisis radioaktif. 

Temuan Manuskrip Mengungkap Gagasan Einstein yang "Hilang"

TRIBUNSUMSEL.COM - Ilmuwan mengungkap manuskrip Albert Einstein yang tidak pernah disadari keberadaannya. Manuskrip itu mengungkap teori Einstein yang tak pernah dipublikasikan sebelumnya.
Manuskrip yang ditulis pada tahun 1931 itu mengungkap gagasan Einstein tentang awal mula alam semesta. Einstein berpandangan bahwa alam semesta tak serta-merta tercipta lewat satu peristiwa Dentuman Besar.
Gagasan Einstein itu sama dengan gagasan astronom Inggris, Fred Hoyle, yang kini tumbang. Pada akhir tahun 1940-an, Hoyle juga mengungkapkan bahwa semesta tidak tercipta lewat satu peristiwa Dentuman Besar.
Menurut Hoyle, semesta berkembang. Semesta berada dalam keadaan steady state, memiliki kemampatan yang sama meskipun terus mengambang. Hal itu mungkin terjadi karena materi atau partikel baru terus-menerus tercipta.
Hoyle mengutarakan, partikel-partikel kemudian akan bergabung membentuk bintang, galaksi, dan lainnya sehingga menyisakan ruang. Hal tersebut terjadi pada kecepatan yang pas sehingga bisa mengambil ruang yang ada seiring alam semesta mengembang.
Fakta bahwa Einstein memiliki gagasan yang sama, kata Cormac O’Raifeartaigh, fisikawan dari Waterford Institute of Technology di Irlandia yang menemukan manuskrip itu, menunjukkan bahwa gagasan semesta yang steady state telah muncul sejak sebelum Hoyle.
Tak seperti saat ini, teori Dentuman Besar pada masa lalu masih diperdebatkan. Teori Dentuman Besar sendiri mulai berkembang dari hasil observasi Edwin Hubble yang menemukan bahwa galaksi terus bergerak menjauh yang bisa jadi indikasi bahwa semesta dulu lebih mampat.
Manuskrip Einstein itu sebenarnya telah tersimpan lama di Albert Einstein Archives di Jerusalem dan bisa diakses secara bebas di situs web organisasi itu. Namun, manuskrip itu awalnya dikira bagian dari manuskrip lain.
O’Raifeartaigh yang menemukan manuskrip itu mengaku sangat kaget. Dikutip dari Nature, Senin (24/2/2014), ia mengaku bahwa ia "hampir jatuh dari kursi ketika menyadari isi manuskrip tersebut".
O’Raifeartaigh dan rekannya kemudian mengirim temuannya sekaligus terjemahannya dalam bahasa Inggris (dari naskah asli yang semula berbahasa Jerman) ke server publikasi ilmiah arXiv. Saat ini, naskah temuan sudah masuk ke jurnal European Physical Journal.
Kosmolog James Peebles dari Princeton University di New Jersey mengungkapkan, manuskrip itu mungkin "naskah kasar yang dimulai dari kegembiraan karena memiliki ide lalu segera ditinggalkan karena penulisnya akhirnya menyadari bahwa ia telah membodohi dirinya sendiri."
Namun, fakta bahwa Einstein masih berkutat dengan idenya membuktikan bahwa ia saat itu masih resistan dengan gagasan tentang Dentuman Besar. Einstein menganggap, teori itu "keji", walaupun ilmuwan lain menunjukkan bahwa itu konsekuensi umum dari teori relativitas umum yang dikembangkannya sendiri.
Helge Kragh, sejarawan ilmu pengetahuan dari Aarhus University, mengatakan, "Apa yang yang ditunjukkan oleh manuskrip itu adalah, walaupun pada akhirnya menerima Dentuman Besar, Einstein tak begitu senang dengan fakta bahwa semesta berubah."

Tahun Tersingkat di Alam Semesta



KOMPAS.com - Satu tahun secara astronomi didefinisikan sebagai waktu sebuah planet mengelilingi bintang induknya atau dikenal dengan waktu revolusi. Satu tahun di antara planet satu dengan yang lainnya bisa beragam, salah satunya dipengaruhi oleh jarak antara planet dan bintangnya.

Kini, astronom mengetahui suatu tempat yang mengalami tahun tersingkat di alam semesta. Tempat itu adalah benda langit bernama KOI 1843.03 yang baru saja ditemukan astronom Massachusets Institute of Technology (MIT) dari data wahana Kepler. Satu tahun di planet itu setara dengan 4 jam 15 menit Bumi.

Roberto Sanchis-Ojeda, mahasiswa pasca sarnaja MIT yang terlibat penelitian ini menduga bahwa KOI 1843.03 merupakan sebuah planet. Namun demikian, kebenarannya masih perlu dikonfirmasi. Yang jelas, benda langit tersebut nyata.

Mengorbit bintang sangat cepat, KOI 1843.03 pasti memiliki jarak yang sangat dekat. Dengan jarak tersebut, Sanchis-ojeda mengungkapkan bahwa massa jenis benda langit itu pasti sangat tinggi, lebih atau sama dengan 7 g/cm3.

"Ketika Anda berada sangat dekat dengan bintang, interaksi pasang menjadi sangat kuat hingga bisa mengoyak permukaan dan menghancurkannya. Cara sebuah planet bisa bertahan adalah dengan memiliki massa jenis tinggi," kata Sanchis-Ojeda seperti dikutip New Scientist, Rabu (21/8/2013).

Menurut astronom, 70 persen massa KOI 1843.03 diduga terdiri atas besi, sementara 30 persen lainnya adalah silikat. Bahkan, tak menutup kemungkinan bahwa seluruh KOI 1843.03 adalah besi, membuatnya menjadi bola besi terbesar yang "mengapung" di jagat raya.

Sanchis-Ojeda mengatakan, selain jarak dekat, faktor yang membuat benda langit ini berevolusi sangat cepat adalah kecepatan rotasinya. Bila Bumi mengelilingi Matahari dengan kecepatan 30 kilometer per detik, benda langit ini mengelilingi bintangnya dengan kecepatan 250 km/detik.

Sanchis-Ojeda mengungkapkan, benda langit yang berevolusi sangat cepat seperti KOI 1843.03 mungkin banyak. Ia menemukan setidaknya 20 kandidat planet yang mengorbit bintangnya dalam waktu kurang dari sehari semalam di Bumi.

Astronom belum mengetahui bagaimana sebuah planet bisa berada sangat dekat dengan bintangnya. Diduga, benda seperti KOI 1843.03 sebelumnya terbentuk di wilayah jauh dari bintangnya namun bermigrasi ke dalam. Ada kemungkinan pula, benda langit ini adalah inti planet besar yang bermigrasi.

Dimitar Sasselov, astronom dari Harvard University yang tak terlibat studi, mengatakan, KOI 1843.03 mungkin juga bukan hanya berada di dekat bintangnya, tetapi di dalam atmosfer atas bintang induknya atau koronanya.

Jika benar bahwa planet berada di dalam korona, maka planet ini bisa dikatakan takkan pernah bebas dari radiasi bintangnya. Bagi manusia, benda langit ini sangat mematikan, panasnya melelehkan sementara radiasinya merusak.

Bagaimana bila Ternyata Alam Semesta Tidak Mengembang?




KOMPAS.com — Selama ini, pemahaman kita akan asal mula alam semesta telah didasarkan pada konsep bahwa alam semesta lahir melalui sebuah proses "dentuman besar" pada suatu ketika di masa lampau.

Tetapi, apakah benar demikian adanya? Sains selalu didasarkan pada justifikasi yang didasarkan fakta pengamatan. Akan tetapi, untuk mendapatkan justifikasi itu, sains selalu terbuka akan interpretasi yang bisa berbeda sama sekali.

Sebagaimana yang telah dipahami saat ini, bagaimana astronomi menjelaskan tentang alam semesta diperoleh dari cahaya yang dipancarkan/diserap dari atom-atom dari benda-benda langit, yang ditampilkan dalam warna, atau frekuensi, secara populer disebut sebagai pergeseran merah.

Apabila ada materi yang bergerak menjauh, dari Prinsip Doppler, warnanya akan cenderung menjadi lebih merah atau frekuensi yang lebih rendah dari spektrum elektromagnetik. 

Prinsip dasar ini yang dipergunakan oleh para perintis teori "dentuman besar", seperti Georges Lemaitre yang merumuskan matematikanya, sementara Edwin Hubble mengamati bahwa memang galaksi-galaksi mengalami pergeseran merah, semakin jauh galaksinya, semakin mengalami pemerahan spektrumnya. 

Dari hal tersebut dideduksikan bahwa alam semesta mengalami pengembangan sebagaimana yang telah kita terima saat ini.

Bagaimana jika alih-alih alam semesta mengembang—sebagaimana yang telah kita terima saat ini tidak terjadi, tetapi massa semua yang ada di alam semesta mengalami peningkatan? 

Interpretasi seperti itu dapat membantu memberikan pemahaman yang lebih baik pada permasalahan yang dihadapi oleh Kosmologi saat ini. Walaupun masih perlu dukungan bukit yang dapat diamati dari teori tersebut, tetapi teori yang disampaikan oleh Christof Wetterich, ahli fisika teoritis dari Universitas Heidelberg, tampaknya cukup menarik perhatian karena teori fisikanya cukup sahih.

Sebagaimana yang telah diutarakan, bahwa cahaya itu adalah hasil interaksi atom-atom penyusun materi, hal ini dipergunakan oleh Wetterich untuk menyusun teorinya. Karakteristik cahaya yang dipancarkan atom juga dipengaruhi massa, serta juga denan elektron-elektron dalam atom tersebut. 

Bayangkan apabila atom mengalami peningkatan massa, maka foton yang dipancarkan menjadi lebih berenergi dan karena energi berkorespondensi dengan frekuensi, semakin besar massa, semakin mengalami pergeseran ke biru dari spektrum yang teramati, dibandingkan dari keadaan yang sebelumnya telah diketahui, yaitu sebelum massa meningkat, demikian juga sebaliknya.

kKarena laju cahaya adalah terbatas, kita melihat galaksi-galaksi jauh sebagaimana kita melihat pada suat kala di masa lampau, kala cahaya mulai dipancarkan dari sumbernya. 

Apabila massa kala itu rendah, dan kemudian mengalami peningkatan, warna galaksi tua akan mengalami pergeseran merah dibanding frekuensi-nya saat ini, dan jumlah pergeseran merahnya akan berbanding terhadap jaraknya ke Bumi. Dengan demikian, pergeseran merah galaksi akan menampilkan fenomena seolah-olah mereka mengalami pergeseran menjauh (padahal belum tentu demikian).

Pekerjaan yang dilakukan oleh Wetterich adalah murni konsep matematika guna menginterpretasi pergeseran merah, tetapi makna fisis-nya akan sama sekali berbeda dibanding yang kita pahami dari model "dentuman besar". 

Bayangkan apabila ternyata alih-alih alam semeta berawal dari dentuman besar, hal itu tidak terjadi sama sekali, tetapi tidak ada awal alam semesta, bahkan alam semesta cenderung untuk menjadi statis, bahkan mengalami keruntuhan.

Tetapi, bagaimana kita dapat menguji model ini? Bagaimana kita dapat mengukur bahwa massa itu mengembang? Satu kilogram adalah massa yang sudah disepakati, diukur, dan ditera berdasarkan satuan standar yang telah ditentukan, di mana pun di seluruh alam semesta itu akan berlaku tetap. Bagaimana kita mengatakan satu kilogram mengalami peningkatan? Walaupun secara matematis itu boleh-boleh saja, akan tetapi tidak akan mudah untuk diuji.

Kendati demikian, teori yang disampaikan Wetterich tidaklah serta-merta ditolak karena teori-nya cukup sahih, dan demikian bisa menjadi pijakan apabila ada model-model alam semesta lain yang hendak diajukan, bahkan lebih lanjut lagi, membuka wawasan, dan mengantar kita mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang ada, yang kita belum pahami, dan keluar dari zona nyaman kemapanan pengetahuan kita, yang masih menyisakan banyak pertanyaan.

Benarkah Ada Lubang Cacing Penghubung Antar-Semesta?




KOMPAS.com — Semesta mungkin bukan hanya satu, dan di antara semesta terdapat lubang-lubang yang menghubungkannya. Benarkah teori itu?

Agus Suprasetyono menanyakannya kepada situs astronomi Langitselatan. "Saya pernah lihat film Contact, tentang perjalanan manusia menuju bintang melalui istilahnya lubang cacing. Apakah lubang cacing itu, dan apakah ada," tanyanya.

Syafik dari Purwokerto juga punya pertanyaan mirip. "Apakah benar bahwa wormhole itu jalan pintas ke semesta lain?" tanyanya.

Nah, apakah memang ada lubang cacing itu? Berikut uraian situs Langitselatan.

Secara teori memang benar wormhole aka lubang cacing ini merupakan solusi matematis mengenai hubungan geometris antara satu titik dalam ruang-waktu dengan titik yang lain, dimana hubungan tersebut bisa berperilaku sebagai ‘jalan pintas’ dalam ruang-waktu. Tapi, sampai saat ini belum ada bukti yang bisa mendukung keberadaannya, baik dari pengamatan maupun secara eksperimen.

Lantas, apa itu lubang cacing (wormhole)?

Saya menyukai ilustrasi yang digunakan Dr. Kip S. Thorne dari California Institute of Technology untuk menjelaskan apa itu wormhole. Ilustrasinya seperti ini: bayangkan kamu adalah seekor semut yang tinggal di permukaan sebuah apel. Apel tersebut digantung di langit-langit dengan menggunakan tali yang sangat tipis sehingga tidak bisa kamu panjat. Kamu tidak bisa pergi kemana-mana selain di permukaan apel. Permukaan apel itu menjadi alam semestamu. Nah, sekarang bayangkan apel itu berlubang dimakan ulat. Lubangnya menembus si buah apel. Dengan adanya lubang itu, kamu bisa berpindah ke sisi lain permukaan apel dengan dua cara, yaitu: lewat jalan biasa, yaitu permukaan apel (alam semesta), atau lewat jalan pintas, yaitu lubang yang sudah dibuat si ulat (wormhole).

Wormole memiliki dua ujung. Misalnya, satu ujung di kamarmu, ujung yang lain ada di negara asal teman facebook-mu di Perancis. Kalau kamu melongok ke wormhole itu, maka akan tampak temanmu dengan latar belakang menara Eiffel. Temanmu yang melihat dari ujung wormhole di Perancis lalu bisa melihatmu duduk mengerjakan PR di kamarmu. Asyik, ya, kalau selesai mengerjakan PR kamu bisa menemui kawanmu di Perancis dan naik ke menara Eiffel, hanya dengan masuk ke semacam lorong.

Alam semesta kita ini mengikuti hukum fisika. Yang namanya hukum pasti ada yang dibolehkan tapi ada yang tidak. Nah, apakah hukum fisika memungkinkan adanya wormhole? Ya! Sayangnya, masih menuruti hukum fisika tadi, wormhole mudah runtuh sehingga tak ada yang bakal selamat melewatinya. Supaya tidak runtuh, kita harus memasukkan materi yang berenergi negatif, yang mengeluarkan semacam gaya anti-gravitasi yang mampu menahan wormhole dari keruntuhan.

Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah apakah ada materi berenergi negatif? Jawaban yang diberikan oleh para fisikawan yang telah mengupas hukum-hukum fisika secara mendetil dengan menggunakan ilmu matematika adalah ada! Namun keberadaannya hanya sesaat dan dalam jumlah yang sangat sedikit.

Andaikan ada insinyur hebat yang ingin mempertahankan wormhole tidak runtuh. Masih belum mungkin juga ia mengumpulkan energi negatif di dalam wormhole sejumlah yang diperlukan supaya wormhole itu bisa dilalui. Seandainya pun hukum fisika memungkinkan adanya wormhole, kemungkinan besar wormhole tidak terjadi secara alami, tapi harus dibuat dan dijaga supaya tidak runtuh dengan suatu teknologi tertentu. Teknologi kita saat ini masih sangat jauh dari itu. Teknologi wormhole masih sulit, seperti halnya pesawat ruang angkasa bagi manusia purba. Tapi, sekalinya teknologi wormhole ini bisa dikuasai, ia akan menjadi sarana praktis untuk transportasi antarbintang. Ini menjadi tantangan bagi kita dan generasi berikutnya, termasuk kalian.

Inikah Bulan Alien Pertama di Alam Semesta?



KOMPAS.com - Astronom telah lama menduga bahwa bulan alien alias bulan yang berada di luar Tata Surya juga ada. Namun, hingga saat ini, belum ada satu publikasi pun yang mengonfirmasi adanya bulan alien tersebut.

Satu publikasi penelitian kemudian muncul di arXiv 13 Desember 2013. Publikasi itu memuat temuan obyek yang mungkin bulan alien. Tim astronom yang dipimpin David Bennet dari University of Notre Dame di Indiana adalah penulis dari publikasi tersebut.

"Ini adalah kandidat bulan alien paling serius pertama dari penelitian-penelitian yang saya ketahui," kata David Kipping dari Harvard Smithsonian Center for Astrophysics yang tak terlibat studi.

Bennet menemukan kandidat bulan alien itu lewat pengamatan dengan teleskop di Selandia Baru dan Keck Observatory di Hawaii pada Juni 2011. Ia menggunakan metode pengamatan yang dikenal dengan gravitational microlensing.

Prinsip metode gravitational microlensing adalah, ketika suatu obyek melintasi muka suatu bintang, gravitasi obyek itu membiaskan cahaya bintang, memfokuskannya seperti lensa, dan membuat bintang lebih cerlang dari sudut pandang tertentu. 

Biasanya, bila ada suatu planet, astronom akan melihat satu puncak penambahan kecerlangan cahaya. Namun, seperti diwartakan Nature, Minggu (23/12/2013), Bennet melihat dua puncak penambahan kecerlangan cahaya.

Adanya dua puncak penambahan kecerlangan membuat astronom menyimpulkan bahwa mereka telah menemukan dua obyek. Namun, jenis obyek yang ditemukan belum bisa dipastikan sebelum penelitian untuk mengonfirmasikan dilakukan.

Astronom punya dua hipotesis terkait obyek yang ditemukan. Hipotesis pertama, dua obyek itu berjarak dekat dengan Tata Surya, sekitar 1.800 tahun cahaya. Bila demikian, maka dua obyek itu bisa jadi adalah sebuah planet dan bulan.

Namun, bila dua obyek itu berjarak jauh dari Tata Surya, kemungkinan keduanya adalah bintang dan sebuah planet yang mengorbitnya. Bintang yang dimaksud bisa jadi merupakan bintang jenis katai coklat sementara planetnya punya massa yang tak jauh beda dengan Neptunus.

Bisa juga, 2 obyek itu adalah planet dan bulan alien massif yang "mengapung" di semesta. Riset telah mengungkap adanya planet yang tidak mengorbit bintang. Bulan serupa mungkin juga ada. Bisa jadi, dua obyek yang ditemukan ini tadinya mengorbit bintang tapi lalu terlempar keluar.

Terkait skenario terakhir, Bennet mengatakan, "Planet yang mengapung bebas di alam semesta dan bulan massif yang massanya setengah Bumi adalah sistem baru yang belum pernah dikenal dalam astronomi."

"Temuan seperti itu harus butuh bukti yang kuat. Jadi, model yang paling mungkin menurut kami akan hasil penelitian ini adalah bahwa dua obyek itu mungkin merupakan bintang bermassa rendah atau katai coklat dengan planet bermassa setara Neptunus," imbuhnya.

Bennet boleh pesimis dengan hasil studinya sendiri. Namun, Kipping yang tekun mempelajari kemungkinan adanya bulan alien di alam semesta mengatakan bahwa ada kemungkinan dua obyek yang ditemukan merupakan planet dan bulan alien.

Dari 3.500 kandidat planet alien yang ditemukan wahana Kepler, 300 diantaranya memiliki karakter orbit yang mampu memiliki bulan. Dari data tersebut, setidaknya 150 diantaranya bisa punya bulan.

Sayangnya, untuk membuktikan kebenaran adanya bulan alien cukup sulit. Tak ada cara untuk mengulang observasi. "Sepertinya memalukan karena kita mungkin tak akan pernah tahu jawabannya," kata Kipping.

Flag Country

free counters