Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space 1976


Registration Convention  berakar kepada ketentuan yang ditetapkan bagi  International Geophysical Year, dalam suatu periode selama 18 bulan dimulai  dari tanggal 1 Juli 1957 sampai dengan 31 Desember 1958. Dimana masyarakat  ilmiah melakukan kajian-kajian di seluruh dunia mengenai lingkungan manusia  dengan bumi dan lautan, atmosfir dan ruang angkasa. Peluncuran satelit-satelit bumi buatan merupakan salah satu dari proyek-proyek yang direncanakan, dan  untuk hal tersebut maka Manual on Rockets and Satellites menetapkan ketentuanketentuan mengenai pendaftaran objek-objek yang diluncurkan ke wilayah ruang  angkasa. 


Di awal tahun 1961 Majelis Umum PBB meminta agar negara-negara  yang meluncurkan objek-objek ke dalam atau di luar orbit dan memberikan  informasi yang sebenar-benarnya kepada  Committee on The Peaceful Uses of  Outer Space, melalui Sekretaris Jenderal PBB dengan tujuan untuk melakukan  pendaftaran peluncuran-peluncuran ini. Sekretaris Jenderal PBB dengan  permohonan diminta untuk mengurus suatu daftar umum informasi  tersebut.  Tidak ada kewajiban mengikat di pihak negara-negara peluncur, akibatnya sistem  tersebut berjalan hanya berdasarkan kesukarelaan semata-mata. Dan pada  umumnya dikatakan bahwa sistem sukarela itu berjalan cukup baik dan hal ini  terlihat dari hampir semua negara yang berpartisipasi dalam aktifitas-aktifitas  keruangangkasaan telah memberikan informasi mengenai peluncuran-peluncuran  yang mereka lakukan. 

Di dalam Hukum Ruang Angkasa terdapat ketentuan penting dalam  Registration Convention berkenaan dengan situasi dimana dua negara atau lebih  bersama-sama berpartisipasi dalam suatu peluncuran khusus. Pada Pasal 21  Registration Convention  menyerahkan penandaan nomor pendaftaran sebuah  objek ruang angkasa yang dapat dipergunakan kembali setelah pendaratannya dan  akan didaftarkan berdasarkan pada Registration Convention sebagai sebuah objek yang diluncurkan ke ruang angkasa dan bukan sebagai pesawat udara seperti  ketentuan di dalam Konvensi Chicago 1967.  Pada tahun 1975 Convention on Registration of Objects into Outer Space  ditandatangani dan mulai berlaku pada tanggal 15 Desember 1976 setelah  masuknya lima ratifikasi dari negara-negara yang menandatangani sebelumnya.  Pada bulan Maret 1981 lebih dari 30 negara telah menandatangani konvensi ini.  Hal ini membuat ketentuan mengajukan informasi mengenai pendaftaran telah  menjadi suatu kewajiban untuk negara peserta konvensi ini. 

Tujuan dari konvensi ini adalah : 

  1. Membuat ketentuan untuk mendaftar objek-objek ruang angkasa oleh negaranegara peluncur.
  2. Menyediakan suatu daftar terpusat mengenai objek-objek ruang angkasa yang  akan ditetapkan serta diurus atas dasar kewajiban oleh PBB. 
  3. Membuat ketentuan tentang cara-cara tambahan untuk membantu mengidentifikasi objek-objek ruang angkasa. 

Konvensi ini memakai prinsip penunjukan yurisdiksi atas dasar  pendaftaran nasional (national registry). Prinsip ini akan memungkinkan  pengidentifikasian yang tepat atas objek-objek ruang angkasa, yang pada  gilirannya akan membantu dalam menentukan tanggung jawab dan menjamin hak  untuk memperoleh kembali objek-objek tersebut. Pada Pasal IV  Registration  Convention  menetapkan bahwa pendaftaran/pemberitahuan harus dilakukan  kepada Sekretaris Jenderal PBB dan bukan kepada ICAO (seperti yang ditetapkan pada Pasal 21 Konvensi Chicago)

sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25537/3/Chapter%20II.pdf

Deklarasi Bogota 1976


Pada tahun 1976 di dalam suatu pertemuan yang membahas secara khusus  mengenai  Geostationary Orbit  (GSO) diadakan di Bogota. Tujuh negara yang  wilayahnya tepat berada di bawah garis khatulistiwa, yakni: Brazil, Kolombia,  Ekuador, Kongo, Kenya, Zaire dan Indonesia, menuangkan gagasannya di dalam  kesepakatan/deklarasi tentang tuntutan atas orbit geostasioner yang memang tepat  berada di atas wilayah kedaulatan mereka. 

Adapun yang menjadi tuntutan dari negara-negara khatulistiwa tadi  bukanlah suatu tuntutan mengenai penguasaan atas wilayah (territorial claim), namun hal tersebut didasarkan oleh karena adanya ketidakadilan  dalam  pemanfaatan orbit geostasioner yang sebelumnya berdasar pada prinsip kebebasan  untuk memanfaatkan bagi semua negara (first come first served). 

Sebagai  akibatnya pemanfaatan orbit geostasioner hanya didominasi oleh negara-negara  maju karena memiliki  kemampuan untuk itu, baik dari segi teknologi maupun  finansialnya. Dan dirasakan pemanfaatan orbit geostasioner itu telah menjadi  suatu usaha komersialisasi oleh negara-negara maju tersebut sehiungga cenderung  merugikan negara-negara lain yang belum mampu memanfaatkannya.  Deklarasi Bogota 1976 ini banyak mendapat reaksi yang luas oleh banyak  negara, namun negara-negara maju menentang isi dari gagasan yang terkandung  di dalamnya karena bertentangan dengan kepentingan mereka. Hal itu juga  dianggap dapat menimbulkan adanya monopoli dalam pemanfaatan orbit  geostasioner (larangan pada Pasal 33 ayat (2) Konvensi ITU 1973), dan terutama  bertentangan dengan Pasal II Space Treaty 1967.

sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25537/3/Chapter%20II.pdf

Liability Convention 1973


Perkembangan pemanfaatan wilayah ruang angkasa khususnya wilayah  orbit geostasioner, menimbulkan kesadaran masyarakat internasional akan  timbulnya suatu malapetaka yang kemungkinan timbul di kemudian hari.  Malapetaka itu yakni, kemungkinan jatuhnya benda angkasa buatan manusia itu  kembali ke bumi, yang membawa dampak buruk bagi negara yang lain karena  terjadinya hal tersebut. 

Maka, sejak tahun 1960 sebuah badan khusus PBB mengenai ruang  angkasa yakni United Nations Committee on The Peaceful Uses of Outer Space  (UNCOPUOS), telah mulai membicarakan hal tersebut dalam forum PBB karena  telah ada contoh-contoh kejadian yang nyata dan tidak dapat disangkal lagi oleh  masyarakat internasional.  Amerika Serikat kemudian mengusulkan agar bahaya jatuhnya benda  buatan manusia dari ruang angkasa itu dapat diselesaikan secara tuntas. Akhirnya  pada tanggal 29 Maret 1972 PBB mensahkan “Convention on International  Liability Damage Caused by Space Objects”, setelah lebih dari lima negara (yang  merupakan syarat dapat berlakunya konvensi ini) meratifikasinya dan hingga  tahun 1976 jumlah negara yang telah meratifikasi berjumlah 40 negara. Konvensi yang didasari oleh beberapa Pasal  Space Treaty  1967  mempunyai tujuan sebagai berikut: 

  1. Untuk membentuk kaidah hukum tentang tanggung jawab internasional terhadap  kerusakan yang diakibatkan oleh benda-benda angkasa. 
  2. Memberikan tata cara penggantian kerugian secara seketika (prompt) dan setimpal  (equitable) kepada korban kerusakan (damage). 
Hal tersebut didasari adanya kemungkinan yang besar jatuhnya (kembali  ke permukaan bumi) benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa. Maka, bila  terjadi, sistem ganti rugi ditetapkan secara “absolute liability”, dimana merupakan  suatu usaha hukum yang berlaku mutlak tanpa pembuktian yang ketat. Dan  beberapa tahun kemudian dibuat suatu aturan mengenai cara pengidentifikasian  benda-benda angkasa (yang mungkin jatuh), yang diusahakan melalui  “Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space” pada tahun  1976.

sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25537/3/Chapter%20II.pdf

Konvensi I.T.U. (International Telecommunication Union) 1973


Suatu badan bersama yang sifatnya internasional yakni  International  Telecommunication Union  (ITU) yang bertugas menjaga dan mengembangkan  kerjasama internasional untuk peningkatan dan pemakaian berbagai sarana  telekomunikasi internasional, menandatangani suatu perjanjian bersama di  Malaga – Toremolinos pada tahun 1973. 

Di dasari oleh perkembangan teknologi satelit yang telah dimiliki oleh  negara-negara maju, sebagai salah satu sarana yang vital bagi perkembangan  telekomunikasi dunia, maka secara khusus dalam Pasal 33 ayat (2) Konvensi ITU  1973 dipandang oleh banyak negara, terutama oleh negara berkembang, lebih  mengakomodasikan kepentingan-kepentingan negara-negara maju yang telah  memiliki teknologi dan kemampuan di bidang satelit saja. Maka, pada pertemuan  ITU pada tahun 1982 di Nairobi (Kenya) dibuat suatu perubahan yaitu di dalam  Pasal 10 3c (mod 67), ditetapkan bahwa dalam rangka pemanfaatan GSO secara  lebih efektif dan ekonomis harus senantiasa diperhatikan negara-negara yang  membutuhkan bantuan, demikian juga bagi negara-negara yang sedang  berkembang serta negara yang mempunyai keadaan geografis yang khusus  (negara-negara khatulistiwa).

Ketentuan-ketentuan  ITU  tersebut oleh negara-negara maju dianggap  cukup memadai untuk mengatur pemanfaatan  GSO, di samping kemajuan  teknologi akan mampu mengatasi kejenuhan yang dikhawatirkan akan terjadi  dalam pengembangan sistem telekomunikasi khususnya bidang satelit ruang  angkasa.

sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25537/3/Chapter%20II.pdf

Outer Space Treaty 1967 (Treaty on Principles Governing The Activities in The Exploration and Use of Outer Space, Including Moon and Other Celestial Bodies)

Perjanjian mengenai Hukum Ruang Angkasa ini lebih dikenal sebagai  Space Treaty 1967 yang ditandatangani pada tanggal 27 Januari 1967 dan berlaku  sejak 10 Oktober 1967. Pesatnya perkembangan teknologi dalam bidang  penerbangan mendorong adanya keinginan negara-negara maju untuk melakukan 
penerbangan lintas wilayah udara yakni ruang angkasa, yang kemudian diikuti  oleh pesawat ruang angkasa Amerika Serikat. Namun, usaha-usaha yang  dilakukan oleh negara-negara maju tersebut, kemudian dianggap sebagai ancaman  oleh negara-negara lain terhadap keamanan mereka. Oleh karenanya dibentuklah  sebuah komite melalui PBB guna merancang peraturan-peraturan bagi semua  kegiatan dalam bidang ruang angkasa ini.


Setelah beberapa resolusi disahkan oleh PBB, maka sebuah traktat khusus  mengenai ruang angkasa (space treaty) dibentuk pada tahun 1967, tepatnya  sepuluh tahun setelah peluncuran Sputnik milik Rusia. Perjanjian yang diprakarsai  oleh PBB didasarkan atas konsep bahwa ruang angkasa (outer space) harus  dipertahankan sebagai milik seluruh umat manusia dan harus dieksplorasi dan  digunakan bagi keuntungan serta kepentingan semua negara. Definisi yang lebih  spesifik tidak berhasil disepakati di dalam Outer Space Treaty 1967 ini. Adapun  tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk mencegah tuntutan-tuntutan  kedaulatan di ruang angkasa oleh negara-negara secara individu dan untuk  membuat ketentuan-ketentuan bagi penggunaan secara damai ruang angkasa
tersebut.

Menurut  Outer Space Treaty  1967 bahwa seluruh aktifitas-aktifitas  keruangangkasaan hanya dapat dilakukan sesuai dengan  UN Charter  (Piagam  PBB) dan Prinsip-prinsip Hukum Internasional, namun demikian masalah  kedaulatan sangat erat kaitannya dengan beberapa aktifitas keruangangkasaan.


Karena dalam Hukum Ruang Angkasa kita menghadapi suatu fakta bahwa  kebebasan eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa berada dalam lingkup  hubungan antar negara yang berkedaulatan sama atas wilayah ruang angkasa itu



Di dalam Pasal II Outer Space Treaty 1967 secara khusus terdapat adanya  suatu larangan bagi semua negara, terhadap pemilikan secara nasional atas  wilayah ruang angkasa oleh suatu negara melalui tuntutan-tuntutan kedaulatan,  pemakaian atau pendudukan atau dengan cara-cara lainnya. Dengan kata lain bahwa yang dinamakan sebagai wilayah ruang  angkasa tersebut adalah milik  semua negara yang tidak dapat dikuasai secara sepihak dengan alasan apa pun  juga oleh suatu negara tertentu.

Lingkup Ruang ( Delimitasi ) Ruang Angkasa


Teori delimitasi ini lahir untuk memperkuat argumentasi klaim batas  kedaulatan sebuah negara atas ruang udara sesuai dengan prinsip-prinsip hukum  udara internasional. Namun  teori ini juga dapat diterapkan untuk mengetahui  batas ketinggian jelajah pesawat udara komersial. Sehingga apabila terjadi  kecelakaan pesawat udara dapat dipakai sebagai dasar argumentasi yuridisnya.

Permasalahan mengenai sampai sejauh mana suatu negara berdaulat atas  ruang udara diatas wilayahnya mulai muncul sejak Perang Dunia I, namun pasca  Perang Dunia II persoalan justru mengarah ke arah yang lebih jauh , yakni ruang  angkasa (outer space). Dalam hukum ruang angkasa berlaku prinsip kebebasan yang tercantum  dalam  outer space treaty 1967 .  Traktat Ruang Angkasa 1967 ini disahkan  sepuluh tahun setelah Uni Soviet mengorbitkan Sputnik I.

Prinsip kebebasan dalam  outer space treaty 1967  itu terangkum dalam  kalimat : “ Ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lain, bebas untuk dieksplorasi dan pemanfaatan oleh setiap negara dan ruang angkasa  termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya itu tidak dapat dimiliki oleh  negara-negara manapun juga, dengan alasan pemakaian atau pendudukan atau  dengan cara apapun”. Hal ini berarti bahwa ruang angkasa termasuk bulan dan  benda-benda langit lainnya bebas untuk dimanfaatkan. Akan tetapi, kepemilikan  atas ruang angkasa dan benda-benda langit lainnya tidak dibenarkan.


Hukum udara internasional mengenal beberapa teori delimitasi ruang  udara dan ruang angkasa. Antara lain  Schater Air Space Theory diperkenalkan  oleh Oscar Scahater. Jenks  Free Space Theory (teori ruang angkasa bebas)  diperkenalkan oleh C Wilfred Jenks,  Haley’s International Unanimity Theory (teori persetujuan internasional) diperkenalkan oleh Andrew G. Haley dan  Cooper’s Control Theory (teori pengawasan) diperkenalkan oleh John Cobb  Cooper.

Banyaknya para ahli memberikan argumentasi keilmuan tentang delimitasi  ruang udara dan ruang angksa. Mereka memberikan warna tersendiri dan  pemahaman yang mendalam serta teliti. Pendapat mereka dijadikan sebagai  doktrina (pendapat para ahli hukum) sebagaimana tertera dalam pasal 38 Statuta  Mahkamah Pengadilan Internasional yang dijadikan sebagai sumber hukum formil bagi para hakim dalam memutus sebuah perkara hukum. Namun ada juga beberapa teori yang dilahirkan dari organisasi  internasional, perjanjian internasional, cara bekerja sebuah pesawat angkasa, cara  bekerja transmisi gelombang radio,  teori orbit satelit. Antara lain ::

1. Teori ICAO (International Civil Aviation Organization). 

Teori ini berdasarkan  pada bunyi konvensi Chicago tahun 1944 dengan segenap  annex-nya yang  menggunakan batas berlakunya ketentuan hukum udara internasional. Dimulai  batas maksimum yang  dapat dipakai oleh pesawat udara (aircraft) dengan  mendefinisikan pesawat udara sebagai”. Setiap alat yang mendapat gaya angkat aerodinamis di atmosfir karena reaksi udara (any machine can derive support in  the atmosphere from the reaction of the air). Konvensi ini tidak menyebutkan  secara jelas dan pasti batas ketinggian kedaulatan suatu negara atas ruang  udaranya. Dapat dikatakan bahwa ruang angkasa dimulai pada saat tidak ada  reaksi udara menurut teknologi penerbangan berkisar 25 mil sampai 30 mil dari permukaan bumi atau sekitar 60.000 kaki.

2. Teori Transmisi Radio. 

Teori ini didasarkan pada sifat gelombang yang memancar  melalui perantaraan konduktor atmosfir udara dapat ditentukan bahwa batas ruang  angkasa dimulai dari batas maksimum udara dimana gelombang radio tidak dapat  menembus batas tersebut melainkan kembali memantul ke bumi ketinggian  berdasarkan teori berkisar 150 mil sampai 300 mil dari permukaan bumi.

3. Teori Outer Space Treaty 1967. 

Teori ini memberi batas antara ruang udara dan  ruang angkasa berdasarkan teori titik terendah orbit suatu satelit atau suatu space  objects. Pembatasan teori  outer space treaty bersifat tidak pasti. Hal ini  bergantung pada karakteristik suatu satelit buatan dan kepadatan atmosfir di suatu  orbit pada waktu tertentu. Menurut teori ini, ruang angkasa dimulai pada ketinggian 80 Km diatas permukaan bumi yang merupakan batas ketinggian  minimum (lower limit) dari suatu orbit satelit.

4. Teori GSO (Geo Stationary Orbit). 

Teori ini dipakai oleh negara-negara “kolong”  dimana negaranya dilalui garis khatulistiwa termasuk Indonesia untuk  memperjuangkan klaim hak-hak berdaulat, mengeksplorasi dan mengeksploitasi  kekayaan alam di ruang angkasa yang berbentuk cincin ketinggian berkisar  36.000 km dari permukaan bumi. Teori ini lahir dari kegigihan perjuangan  negara-negara  equator (khatulistiwa) untuk memperoleh  preferential rights atas  GSO (Ida Bagus Rahmadi Supancana, E Saefullah Wiradipradja, Mieke Komar  Kantaatmadja, 1988). Ide ini diusulkan pada sidang ke-22 sub komite hukum  UNCOPOUS (United Nations Committee of Peacefull of Outer Space)  untuk  memperkuat argumentasi yuridis atas kekayaan alam ruang angkasa bagi negaranegara khatulistiwa.

5. Teori Pesawat Lockheed U-2 Milik Amerika Serikat dengan kemampuan terbang  berkisar 78. 000 kaki. 

Pesawat LU-2 jenis pengintai ini ditembak jatuh oleh  USSR. Sehingga menimbulkan perang argumentasi antara Uni Soviet dan  Amerika Serikat. Pihak Uni Soviet memprotes Amerika karena pesawat udaranya  telah memasuki wilayah udara Uni Soviet. Sebaliknya, Amerika berdalih bahwa  pesawatnya terbang pada ketinnggian yang dikategorikan sebagai wilayah ruang  angkasa yang bebas dari klaim kedaulatan dari negara manapun. Pihak USSR  berpegang pada Air Code Soviet yang berbunyi  “The Complete and exclusive  sovereignity over the airspace of USSR shall be long to the USSR.Air space of  USSR shall be deemed to be the air space above the land and water territory of the USSR including the space above territorial waters as determined by laws of
USSR and by international treaties”    

6. Teori Space Shuttle atau teori Orbiter. 

Dilahirkan dari pemikiran penulis  untuk,memperkuat argumentasi yuridis masalah status hukum pesawat ulang-alik  yang banyak menimbulkan silang pendapat di kalangan ilmuan hukum udara.  Beberapa ilmuan hukum udara masih belum bisa menarik kesimpulan tentang  penundukan hukum atas pesawat ulang alik. Di satu sisi tunduk pada hukum  ruang angkasa dan di sisi lain tunduk pada hukum udara internasional. Karena
sifat-sifat kendaraan tersebut selalu berubah-ubah, kadang sifatnya sebagai  pesawat angkasa dan juga sebagai pesawat udara biasa (K Martono, 1987). Untuk  memperkuat argumen yuridis terhadap teori yang penulis lahirkan berkenaan  dengan batas delimitasi ruang udara dan ruang angkasa dapat dilihat dari proses
kerja pesawat ulang alik pada saat menjalankan misinya. Meluncur ke ruang  angkasa melalui tiga tahapan yakni tahap  ascend/launching (peluncuran), tahap  orbital (penempatan ke orbit), dan tahap descend (pulang turun kembali ke bumi  memasuki atmosfir).

Tuurunya pesawat dengan gaya aerodinamis menggunakan  reaksi udara mirip pesawat udara komersial biasa. Dari proses kerja pesawat ini  dapat diambil teori penentuan delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Teori  tersebut adalah batas ruang udara berlaku pada saat tangki luar bahan bakar pecah dan terbakar disusul dua roket pendorong lepas pada ketinggian 50 mil dari  permukaan bumi. Teori baru dari hasil pemikiran penulis ini mudah-mudahan  dapat menambah khasanah bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang  hukum udara dan ruang angkasa.

sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25537/3/Chapter%20II.pdf


Perkembangan Hukum Internasional Mengenai Kegiatan Ruang Angkasa

Terbentuknya Hukum Ruang Angkasa


Proses pembentukan Hukum Ruang Angkasa didasarkan terutama  kepada  Hukum Internasional. Oleh karena itu, peranan Hukum Internasional sangat  menentukan. Hukum internasional yang berlaku diterapkan pada bagian-bagian  yang masih kurang  atau belum diatur mengenai pihak-pihak yang berhubungan  atas suatu kepentingan tertentu.

Sebagai tahapan selanjutnya dari pembentukan Hukum Ruang Angkasa  ini adalah dengan diterimanya deklarasi prinsip-prinsip hukum untuk mengatur  kegiatan-kegiatan negara di ruang angkasa yang berhubungan dengan  penyelidikan dan penggunaan ruang angkasa. Proses pembentukan Hukum Ruang Angkasa bergerak ke arah dua tahap.  Tahap pertama ditandai oleh pengajuan serentetan resolusi oleh Majelis Umum.  Resolusi ini meliputi petunjuk-petunjuk dan cara-cara meningkatkan kerja sama  internasional serta penetapan prinsip-prinsip dasar  tentang pengaturannya. Hukum Udara dan Ruang Angkasa merupakan bagian komponen dari Hukum Angkasa, untuk itu perlu diteliti apa-apa saja yang merupakan bagian dari/ruang lingkup dari Hukum  Ruang Angkasa, yakni:


  1. Sifat dan luas wilayah di ruang angkasa dimana Hukum Angkasa diterapkan dan  berlaku.
  2. Bentuk kegiatan manusia yang diatur di ruang tersebut. 
  3. Bentuk peralatan penerbangan (flight instrumentalities) seperti pesawat udara  dalam penerbangan di ruang udara dan pesawat ruang angkasa untuk ruang  angkasa yang mempunyai sangkut-paut dan diatur oleh Hukum Angkasa, atau  dengan perkataan lain segala peralatan penerbangan yang menjadi objek Hukum Angkasa. 


Hukum Angkasa sebagai salah satu cabang dari ilmu hukum yang relatif  muda, oleh para ahli hukum maupun masyarakat internasional dirasakan perlu  untuk lebih dikembangkan. Pengembangan yang dilakukan bertujuan agar Hukum  Angkasa dapat menjadi cabang ilmu hukum yang mantap dan mapan terutama  dalam mengantisipasi kemajuan teknologi yang sangat pesat.  Berbagai upaya telah dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut antara lain  dengan mengidentifikasi berbagai permasalahan yang timbul dari ditemukannya  dimensi ruang angkasa hingga menelaah berbagai dampak hukum atas  dimanfaatkannya dimensi tersebut oleh manusia. Hal inilah yang mendasari  adanya pembagian Hukum Angkasa itu sendiri secara umum pada saat ini.


Ernest NYS merupakan orang pertama yang menggunakan istilah khusus  bagi bidang ilmu hukum untuk ruang udara ini. Istilah yang ia gunakan ialah  “Droit Aerien” dan dipakainya di dalam laporan-laporannya kepada Institute de  Droit Internationale  pada rapat di tahun 1902 dan kemudian di dalam tulisantulisan ilmiahnya. Oleh karena itu, istilah-istilah yang ditemukan sebelum tahun  50-an dan sesudahnya ialah misalnya istilah “Luchtrecht, Luftrecht atau Air Law”  yang banyak digunakan orang.

Di Indonesia sendiri dipakai istilah Hukum Udara, istilah yang telah  membaku di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran sejak tahun 1963. Setelah  Uni Soviet berhasil meluncurkan satelit buatannya yang pertama maka timbul lah  istilah hukum yang lebih luas lagi, yakni Air and Space Law,  Lucht en Ruimte  Recht  atau Hukum Angkasa. Ada pula digunakan orang istilah Aerospace Law.  Semua istilah ini memang menunjukkan adanya suatu bidang ilmu hukum yang  mempersoalkan berbagai macam pengaturan terhadap medium ruang.

Istilah Hukum Ruang Angkasa dianggap lebih tepat daripada penggunaan  istilah Hukum Antariksa, satu sama lain karena masih belum jelas apa yang  dimaksud dengan antariksa. Secara garis besar dapat dikatakan, untuk ilmu hukum  ini dipakai istilah “Hukum Angkasa”, “Air and Space Law” di Kanada,  “Aerospace Law” di Amerika Serikat, “Lucht  en Ruimte Recht” di Belanda,  “Droit Aerien et de l’espace” di Perancis, “Luft und Weltraumrecht” di Jerman,  yang mencakup dua bidang ilmu hukum dan mengatur 2 sarana wilayah  penerbangan yakni hukum udara yang mengatur sarana penerbangan di ruang  udara yaitu ruang di sekitar bumi yang berisi gas-gas udara. Kemudian Hukum Ruang Angkasa yakni hukum yang mengatur ruang yang hampa udara (outer  space).

Tata surya kita secara geografis yuridis dapat kita klasifikasikan sebagai  berikut:

Istilah Hukum Angkasa (yang terdiri dari Hukum  Udara dan Ruang  Angkasa) telah dipergunakan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Sesko  AU di Bandung sejak tahun 1963. Seringkali istilah ruang angkasa ini (outer space) di campuraduk kan dengan istilah angkasa luar atau antariksa. Secara legalistis, dapat  disimpulkan bahwa antariksa itu ialah ruang angkasa dengan segala isinya.


  1. Ruang udara ialah ruang di sekitar bumi yang berisikan gas-gas udara yang  dibutuhkan manusia demi kelangsungan hidupnya. 
  2. Antariksa mempunyai arti sebagai berikut : 

1) Ruang angkasa yakni ruang yang kosong/hampa udara (aero space) dan berisikan  langit.
2) Bulan dan benda-benda (planet-planet) lainnya.
3) Orbit geostasioner (Geo Stationary Orbit - GSO).

Hukum Ruang Angkasa adalah hukum yang ditujukan untuk mengatur  hubungan antar negara, untuk menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang  timbul dari segala aktifitas yang tertuju kepada ruang angkasa dan di ruang angkasa  aktifitas itu demi kepentingan seluruh umat manusia, untuk memberikan perlindungan  terhadap kehidupan, terrestrial dan non terrestrial, dimana pun aktifitas itu dilakukan.  Dalam definisi yang terakhir itu ruang angkasa dipandang sebagai suatu  keseluruhan yang utuh, yang dalam lingkupnya mencakup benda-benda langit  lainnya.

Juga terdapat definisi Hukum Angkasa (Aerospace Law) yang berusaha untuk mencakup kedua bidang ilmu hukum itu, secara gabungan menjadi bagian  hukum tunggal. Karena itulah, dalam sebuah  glossary  yang diterbitkan tahun 1955  oleh Research Studies Institutes pada Maxwell Air Force Base, dapat ditemui sebuah  definisi istilah “aerospace”. Istilah tersebut didukung oleh mereka yang berkeyakinan  bahwa Hukum Udara dan Ruang Angkasa hanya disatukan dalam suatu cabang hukum tunggal, karena bidang tersebut mewakili bidang hukum yang secara langsung  maupun tidak langsung berlaku pada penerbangan-penerbangan yang dilakukan  manusia.

sumber :: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25537/3/Chapter%20II.pdf


Flag Country

free counters